Postingan

Islam itu Sami'na Wa Atho'na (Menjadi Orang yang Beruntung)

Kata kunci kedua yang terdapat di surat at-Taghobun ayat 16 adalah "sami'na wa atho'na". Arti sederhananya kami dengar dan kami taat. Kata-kata ini langsung mengingatkan saya kepada sikap seorang santri kepada kiayainya. Ketika seorang Kiayi mengucapkan sesuatu, akan langsung diikuti dan dipatuhi oleh santri tanpa tapi, tanpa mikir.  Sami'na wa atho'na seperti menjadi adab dan etika yang wajib dilaksanakan. Terlebih bagi santri yang sedang belajar. Dan biasanya sikap ini dilandasi keyakinan bahwa dengan taat dan patuh kepada kiayi akan mendatangkan dan memberikan barokah.  Barokah, arti sederhananya adalah bertambah kebaikan. Tapi, kiayi Idris, dulu pernah menjelaskan berkah dengan ilsutrasi: makanan satu piring bisa dan cukup untuk makan 2-3 orang, dan semuanya merasa kenyang.  Keyakinan bahwa setiap titah, ucapan, bahkan gerak Kiayi mengandung keberkahan, pun didasari dengan keyakinan bahwa kiayi adalah seorang ulama. Orang yang menguasai ilmu-ilmu agama. Da...

Takwa dengan sederhana (menjadi orang yang beruntung)

Dalam surat At-Taghobun ayat 16 Allah berfirman: فاتقوا الله ماستطعتم واسمعوا واطيعوا وانفقوا خيرا لأنفسكم ومن يوق شح نفسه فالئك هم المفلحون Ayat ini seakan ingin menegaskan tentang tahapan atau apa saja yang mesti dilakukan agar menjadi orang yang beruntung. Setidaknya ada lima (5) kata kunci, yaitu: takwa, dengar, taat, infak, dan kikir.  Hak pertama adalah takwa. Saya jadi ingat tentang cerita ada tiga orang Kiayi yang mesti tampil ceramah dalam satu panggung.  Kiayi pertama, menegaskan agar orang-orang menjadi manusia yang bertakwa dengan takwa yang sesungguh-sungguhnya. "اتقوا الله حق تقاته". Para jamaah pun menyimak dengan serius.  Kemudian tampillah Kiayi kedua. Kiayi ini menegaskan agar para jamaah menjadi manusia bertakwa sebisanya saja. "اتقوا الله ماستطعتم". Jamaah mulai bingung. Tadi, mesti bertakwa dengan sungguh-sungguh dan serius. Sekarang bertakwa sebisa dan sesanggup masing-masing orang. Lalu tampil kiayi ketiga. Kiayi ini langsung bilang: "gak...

Silaturahmi (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ar-Rum ayat 38. bag-3)

Prof. Quraish Shihab dalam Al-Misbah menafsirkan diksi  haqqohu pada surat Ar-Rum ayat 38 dengan silaturahmi. Menurutnya,  Shilat itu menyambung sementara rahmi  diambil dari kata rahmat yang bisa diartikan sebagai kasih sayang. Sederhananya silaturahmi menurut beliau adalah menyambung kasih sayang. Sementara dalam KBBI silaturahmi diartikan lebih sederhana lagi, yakni tali persaudaraan. Kata silaturahmi yang diserap dari bahasa Arab ini terdiri dari dua kata, yaitu shilah dan   rahim (صلة dan الرحيم). Keduanya dalam gramatika bahasa Arab disebut mashdar . Pada bait dalam kitab Alfiyah, Ibnu Malik menyatakan: قال ابن مالك اَلْمَصْدَرُ اسْمُ مَا سِوَى الزَّمَانِ مِنْ # مَدْلُولَيِ الْفِعْلِ كَأَمْنٍ مِنْ أَمِنْ # بِمِثْلِهِ أَوْ فِعْلٍ أوْ وَصْفٍ نُصِبْ # وَكَوْنُهُ أَصْلاً لِهذَيْنِ انْتُخِبْ Sebagian Ulama menjelaskan bahwa  Mashdar  adalah sumber asal atau kata dasar,bsebelum dibentuknya kata kerja ( fi’il)  dan Isim muyst...

Syukur (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ar-Rum ayat 38. bag-2)

Surat Ar-Rum ayat 36-38 menyajikan gambaran tentang rahmat Allah. Tampilannya ada yang berupa rezeki. Pun berwajah musibah.  Pada ayat 36 tersaji gambaran sikap yang biasanya dianggap "lumrah" dan "fitrah". Saat dapat rezeki dan nikmat, gembira. Saat dapat musibah dan masalah, putus asa. Sikap tersebut disentil Allah pada ayat selanjutnya dengan penegasan; apapun yang tersaji di muka bumi adalah kehendak-Nya.  Jadi, jangan terlalu. Ketika dapat rezeki, ya jangan terlalu gembira. Apalagi sampai menganggap bahwa rezeki yang diperoleh semata-mata hasil usaha dan upaya manusia sendiri. No! Enggak begitu Bang!   Hakekatnya, Allah lah yang melapangkan rezekinya. Pun dengan mereka yang telah berupaya gigih dan keras untuk meraih rezeki tapi masih "seret", hakekatnya itu pun kehendak Allah. Jadi, gak usah terlalu sedih, apalagi sampai putus asa. Walaa tay-asuu min rohmatillah. Kalau begitu, maka yang perlu diupayakan adalah mendekati yang punya kehendak dan kuasa ...

Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ar-Rum ayat 38. bag-1

Diksi Al-muflihuun (orang-orang yang beruntung)   pun terdapat di surat Ar-Rum Ayat 38.  فَاٰتِ ذَا الۡقُرۡبٰى حَقَّهٗ وَ الۡمِسۡكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِ‌ؕ ذٰلِكَ خَيۡرٌ لِّلَّذِيۡنَ يُرِيۡدُوۡنَ وَجۡهَ اللّٰهِ‌ۖ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏ Ayat ini penjelasan dari ayat sebelumnya perihal penegasan Allah tentang tanda-tanda (ayat-ayat) bagi orang-orang yang beriman.  Tanda itu berupa kehendak (kemauan dan otoritas) Allah untuk melapangkan dan membatasi rezeki seseorang.  Ayat 37 ini pun penjelasan dari ayat sebelumnya yang menceritakan tentang tingkah orang-orang yang gembira saat diberi Rahmat dan putus asa saat diberi musibah  Alur sederhananya kira-kira seperti ini: al-muflihun pada ayat 38, berhubungan dengan dua ayat sebelumnya, yaitu ayat 36 dan 37.  Pada ayat 36 berisi tentang sikap manusia yang senang karena dapat rahmat lalu putus asa saat mendapat musibah.  Kemudian di ayat 37, berisi tentang penegasan Allah tentang orang-orang yang...

Syarat Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-9)

Ya, melaksanakan amar ma'ruf nahi Munkar memang terlihat "sedikit ribet" bahkan rumit dan berat. Karenanya tepatlah diksi yang dipakai adalah "min", "minkum" pada hadits populer tersebut, pun pada Ali Imron ayat 104.  Meski begitu, bukan berarti tidak mungkin dan tidak bisa dilakukan. Siapapun, gimana pun  manusianya, sepertinya punya potensi untuk melakukan amar ma'ruf nahi Munkar. Asal terus belajar dan meningkatkan kapasitas serta kemampuan dirinya. Sebab sekali lagi amar ma'ruf nahi munkar memerlukan pendekatan (approach), metode, teknik, strategi tertentu, karena ini terkait ubah-mengubah, terkait perubahan. Lebih jauh, Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin malah menekankan tentang pelaksanan amar ma'ruf nahi munkar yang mesti memenuhi empat unsur. Pertama, muhtasib (pengawas/pelaksana). Kedua, muhtasab ‘alaih (objek yang diawasi/diajak). Ketiga, muhtasab fih (masalah). Dan Keempat, ihtisab (bentuk pengawasan/penanganan).   Keempat unsu...

"Adh'aful Iman" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-8)

Semua hal terkait mengubah (yughoyyiru), dengan tangan, lisan, dan hati atas suatu kemungkaran pada hakikatnya adalah praktik keimanan. Semuanya adalah bentuk sikap yang lahir dari keimanan. Selain juga berasal dari pola pikir, pemikiran, dan kerja otak. Ini seperti pendapat Imam Ibnu Rajab yang menyatakan amar ma'ruf nahi Munkar merupakan bagian dari praktik keimanan. Seseorang (muslim) yang mampu melakukan praktik keimanan tertentu, lebih utama daripada mereka yang meninggalkan praktik keimanan tersebut karena tidak mampu. Tapi bukan berarti mereka yang melakukan dengan hati adalah yang rendah imannya. Bukan. Sebab pada Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah dijelaskan bahwa "adh'aful iman" bukan berarti orang yang hanya mampu mencegah dan menghentikan kemungkaran dengan hatinya adalah lebih lemah imannya. Sekali lagi bukan.  "Adh'aful iman" lebih kepada hasil dari suatu sikap dan tindakan sebuah praktik keimanan. Adalah buah iman yang paling rendah. Sebab...

Tangan, Lisan, dan Hati dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-7)

Berikutnya diksi yang tertera pada hadits tersebut adalah tangan, lisan, dan hati (فليغيره بيده... بلسانه... فبقلبه). Saya melihat diksi-diksi ini lebih kepada bentuk sikap seseorang saat melihat kemungkaran. Tentu saja, sikap yang lahir dari pola pikir, pemikiran, pengalaman, termasuk keimanan seseorang.  Tangan bisa diartikan dan dilihat sebagai kekuasaan, kemampuan, dan kekuatan. Ketika seseorang punya "tangan" ini, lalu melihat kemungkaran, maka yang harus ia lakukan adalah mengubah kemungkaran itu dengan kekuasaan, kekuatan, dan kemampuannya.  Tentu saja, kekuatan di sini bukan berarti memberi tonjokan, pukulan, hingga bogem mentah pada pelaku kemungkaran. Tapi mengubahnya dengan kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan yang dimiliki. Istilah sederhananya kebijakan.  Nah, dalam mengambil kebijakan, orang yang punya power macam ini, perlu kembali melihat "amar ma'ruf" yang mendahului dan dempet dengan "nahi Munkar". Bersikap dengan nilai-nilai kebaikan, ...

Antara Maksiat dan Kemungkaran dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-6)

Munkar itu lebih luas daripada maksiat. Setiap sesuatu yang dampak negatifnya lebih besar dan dapat membahayakan kepentingan umum dapat disebut sebagai kemungkaran, meskipun tidak dianggap maksiat. Ini seperti penjelasan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang memisalkan dengan melihat orang gila berzina di muka umum, pun saat melihat anak kecil "mabok", minum "khamar". Hal Ini wajib dicegah, meskipun perbuatan zina bagi orang yang gila tidak termasuk dalam kategori maksiat. Nah, sat melihat (menggunakan "ro-a") yang dianggap Munkar maka yang perlu dilakukan adalah mengetahui hukum-hukum hal tersebut. Pun mesti melihat hal lain yang terhubung dengan perbuatan tersebut. Misalnya, kenapa seseorang mencuri, kenapa seseorang berzina, dan seterusnya. Sebab mengetahui hal-hal seperti ini perlu dan penting jika yang ingin dilakukan adalah mengubah.  Lagi-lagi perlu ditegaskan kembali. Diksi yang dipakai pada hadits tersebut adalah "yughoyyiru" menguba...

Antara "ro-a", "nazhoro", dan "bashoro" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-5)

Sementara untuk kemungkaran yang sudah terjadi dan dilakukan, maka yang perlu dilakukan adalah mengubahnya. Nah terkait hadits "man roa minkum munkaron....", Ada beberapa hal yang menarik yang terkait dengan mengubah ini. Pertama, ada diksi "ro-a" (رأى) yang bisa diartikan melihat. Menariknya bahasa Arab, ada banyak kata yang digunakan untuk satu hal. Misalnya melihat ini. Selain kata "ro-a" ada "nazhoro" (نظر) dan "bashoro" (بصر). Semuanya kalau diartikan ke bahasa Indonesia sama-sama melihat.  Tapi, jika ditelusuri lebih jauh ada perbedaan mendasar dari ketiganya. Kata "nazhoro" ini kegiatan melihat yang lebih kepada aktivitas indera penglihatan berupa mata. Misalanya. Saya melihat baju di jemuran. Nah, kegiatan melihat dengan mata ini, inilah "nazhoro". Lalu ketika kegiatan melihat tidak sekadar dengan mata, tapi diikuti oleh penglihatan otak atau berpikir, maka yang digunakan adalah "ro-a". Misalnya baj...