Antara "ro-a", "nazhoro", dan "bashoro" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-5)
Sementara untuk kemungkaran yang sudah terjadi dan dilakukan, maka yang perlu dilakukan adalah mengubahnya. Nah terkait hadits "man roa minkum munkaron....", Ada beberapa hal yang menarik yang terkait dengan mengubah ini.
Pertama, ada diksi "ro-a" (رأى) yang bisa diartikan melihat. Menariknya bahasa Arab, ada banyak kata yang digunakan untuk satu hal. Misalnya melihat ini. Selain kata "ro-a" ada "nazhoro" (نظر) dan "bashoro" (بصر). Semuanya kalau diartikan ke bahasa Indonesia sama-sama melihat.
Tapi, jika ditelusuri lebih jauh ada perbedaan mendasar dari ketiganya. Kata "nazhoro" ini kegiatan melihat yang lebih kepada aktivitas indera penglihatan berupa mata. Misalanya. Saya melihat baju di jemuran. Nah, kegiatan melihat dengan mata ini, inilah "nazhoro".
Lalu ketika kegiatan melihat tidak sekadar dengan mata, tapi diikuti oleh penglihatan otak atau berpikir, maka yang digunakan adalah "ro-a". Misalnya baju tadi. Saat saya melihatnya tidak hanya sekadar baju tapi ada peluang usaha dan bisnis dari baju tersebut, maka kata yang digunakan adalah "ro-a". Karenanya pendapat, pandangan akan sesuatu dalam bahasa Arab disebut dengan "ro'yun".
Selanjutnya, ada kegiatan melihat yang lebih jauh dan dalam. Yaitu saat melihat sesuatu tidak hanya dengan indera mata dan otak saja, tapi juga menggunakan hati dan jiwa (nafs). Kegiatan melihat ini menggunakan diksi "bashoro".
Imam Al-Ghazali menggunakan diksi ini ketika membahas tentang intuisi (dzauq) yang menangkap lintasan-lintasan ide (khowathir) yang jika diasah akan menjadi Ilham. Untuk menangkap linatasan ide tersebut, bukan indera mata bahkan otak, tapi menggunakan penglihatan dalam jiwa (nafs) yang disebut dengan "Bashiroh".
Nah, kembali ke hadits populer tentang nahi Munkar. Diksi yang dipakai adalah "ro-a". Ini sepertinya tidak hanya melihat kemungkaran secara zhohir atau sekadar terlihat oleh mata saja. Tapi perlu otak dan kegiatan berpikir untuk melihat sesuatu yang dianggap Munkar tersebut.
Karena menggunakan akal dan pikiran, sikap yang lahir setelah melihat sesuatu yang dianggap mungkar itu pun jadi tidak asal, sembarangan, dan amit-amit cabang bayi, sikap yang lahir justeru malah kemungkaran lain. Misalnya caci maki, menghina, melukai, hingga menghilangkan nyawa orang lain. Ah, saya jadi ingat banyak kejadian "main hakim sendiri" saat melihat dan mendapati kemungkaran.
Dari perbedaan diksi; "yanhaa" pada Ali Imron ayat 104 dan "yughoyyir" pada hadits populer tersebut, sepertinya perlu juga diawali dengan memahami perbedaan antara maksiat dengan munkar.
(Bersambung ke tulisan selanjutnya atau bisa lihat di sini)
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 07012022
Komentar
Posting Komentar