Antara Maksiat dan Kemungkaran dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-6)
Munkar itu lebih luas daripada maksiat. Setiap sesuatu yang dampak negatifnya lebih besar dan dapat membahayakan kepentingan umum dapat disebut sebagai kemungkaran, meskipun tidak dianggap maksiat. Ini seperti penjelasan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang memisalkan dengan melihat orang gila berzina di muka umum, pun saat melihat anak kecil "mabok", minum "khamar".
Hal Ini wajib dicegah, meskipun perbuatan zina bagi orang yang gila tidak termasuk dalam kategori maksiat. Nah, sat melihat (menggunakan "ro-a") yang dianggap Munkar maka yang perlu dilakukan adalah mengetahui hukum-hukum hal tersebut. Pun mesti melihat hal lain yang terhubung dengan perbuatan tersebut. Misalnya, kenapa seseorang mencuri, kenapa seseorang berzina, dan seterusnya. Sebab mengetahui hal-hal seperti ini perlu dan penting jika yang ingin dilakukan adalah mengubah.
Lagi-lagi perlu ditegaskan kembali. Diksi yang dipakai pada hadits tersebut adalah "yughoyyiru" mengubah. Bukan menghilangkan (dalam bahasa Arab: yuziilu), Bukan pula menggantikan (bahasa arabnya: yubaddilu).
Menghilangkan (yuziilu) itu seperti menghilangkan noda di baju. Membuat noda itu hilang, tak ada lagi. Menggantikan (yubaddilu) seperti mengganti baju. Sementara mengubah (yughoyyiru) seperti mengubah tampilan baju agar lebih rapi, menyemprotkan parfum ke baju, dan mungkin juga menjaga baju agar tidak terkena kotoran saat dipakai.
Nah, "man ro-a minkum munkaron, falyughoyyirhu...," pun sepertinya begitu. Lebih condong kepada mengubahnya. Untuk mengubah, tentu saja perlu pendekatan (approach), metode, teknik, dan strategi. Dan lagi-lagi perlu penglihatan otak, akal (berpikir), hingga ilmu dan pengetahuan untuk melakukan semua perubahan itu.
Karenanya ada diksi "min" di hadits tersebut. Diksi ini bisa menyatakan sebagian. Artinya, tidak semua orang bisa mengubah kemungkaran. Karena itu tadi, kemungkaran tidak bisa hilang begitu saja, meskipun pelakunya dikasih jotosan hingga babak belur. Pelaku kemungkaran masih bisa diubah asal proses melihatnya (ro-a) menggunakan otak dan akal pikiran.
Ya, menggunakan otak dan pikiran saat melihat kemungkaran inipun akhirnya mendasari para ulama mengkategorikan kemungkaran yang wajib di cegah. Yaitu kemungkaran yang disepakati oleh para ulama sebagai kemungkaran (Munkar bol ijma'). Jika sesuatu yang dianggap Munkar itu masih diperdebatkan hukumnya oleh para ulama, maka tidak wajib untuk dilarang atau dicegah.
(Bersambung ke tulisan selanjutnya atau bisa lihat di sini)
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 07012022
Komentar
Posting Komentar