Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ar-Rum ayat 38. bag-1

Diksi Al-muflihuun (orang-orang yang beruntung) pun terdapat di surat Ar-Rum Ayat 38. 

فَاٰتِ ذَا الۡقُرۡبٰى حَقَّهٗ وَ الۡمِسۡكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِ‌ؕ ذٰلِكَ خَيۡرٌ لِّلَّذِيۡنَ يُرِيۡدُوۡنَ وَجۡهَ اللّٰهِ‌ۖ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏

Ayat ini penjelasan dari ayat sebelumnya perihal penegasan Allah tentang tanda-tanda (ayat-ayat) bagi orang-orang yang beriman. 

Tanda itu berupa kehendak (kemauan dan otoritas) Allah untuk melapangkan dan membatasi rezeki seseorang. 

Ayat 37 ini pun penjelasan dari ayat sebelumnya yang menceritakan tentang tingkah orang-orang yang gembira saat diberi Rahmat dan putus asa saat diberi musibah 

Alur sederhananya kira-kira seperti ini: al-muflihun pada ayat 38, berhubungan dengan dua ayat sebelumnya, yaitu ayat 36 dan 37. 

Pada ayat 36 berisi tentang sikap manusia yang senang karena dapat rahmat lalu putus asa saat mendapat musibah. 

Kemudian di ayat 37, berisi tentang penegasan Allah tentang orang-orang yang beriman yang diberi tanda bahwa kelapangan rezeki seseorang, pun kesempitannya, semuanya atas kehendak Allah. 

Termasuk tentang penegasan kepada mereka yang putus asa tentang hakekat rezeki, kelapangan dan kesempitannya. 

Lalu di ayat ke-38, Allah menegaskan siapapun yang mendapat rahmat berupa kelebihan rezeki dibanding yang lain, ia mesti menggunakan rezeki tersebut dengan benar.

Yakni, ke orang-orang terdekat, ke orang-orang miskin, dan para musafir. Dan mereka yang menunaikannya, adalah orang-orang yang beruntung (Al-muflihuun).

Dari alur tersebut, setidaknya ada gambaran-gambaran dan pola-pola yang akhirnya menjadikan seseorang beruntung. Apa itu?

Pertama, dalam hidup bisa dipastikan akan ada rahmat dari Allah. Bentuknya macam-macam. Jumlahnya bejibun. Tak terkira dan tak terhitung, saking banyaknya. 

Semua rahmat itu sederhananya dikenal dengan rezeki. Setiap orang, pasti ada dan punya rezekinya. Tentu saja sesuai dengan takdirnya masing-masing. 

Walau rezeki identik dengan takdir, bukan berarti rezeki seseorang tidak bisa berubah. Sebab ada yang namanya takdir mu'allaq alias takdir yang bisa diubah oleh upaya seseorang. Nah, rezeki masuk ke kategori ini.

Meski rezeki seseorang sudah ditentukan (ditakdirkan) tapi ternyata ketentuan itu masih bisa diubah. Di antaranya dengan doa. Ya, doa. Lagi-lagi tentu saja doa yang diiringi dengan usaha dan upaya. 

Bentuk dan jumlah rezeki yang bejibun itu kemudian disederhanakan lagi menjadi nikmat. 

Nah, di surat Ar-Rum ayat 36 digambarkan bahwa orang-orang yang diberi rahmat, rezeki, dan nikmat, bergembira.

Kedua, dalam hidup pun dipastikan akan ada musibah. Hal-hal yang membahayakan, bikin gelisah, dan hal-hal tidak enak, bisa dibilang musibah. 

Bentuknya pun bejibun. Jumlahnya pun "sealaihim gambreng". Setiap orang berpotensi menjumpai dan mengalaminya. 

Musibah ini pun bisa dibilang takdir. Sudah ditentukan. Lagi-lagi, meskipun sudah ditentukan, takdir ini masih bisa diubah. Banyak caranya. Misalnya dengan sedekah. Termasuk dengan doa. 

Musibah sederhananya adalah masalah. Apapun bentuknya, bisa dipastikan setiap orang akan punya masalahnya masing-masing. 

Ah, saya jadi meraba diri sendiri. Sepertinya saya mulai merasakan adanya masalah sejak saya masuk kategori Akil baligh. 

Pasalnya, waktu kecil, saya lihat hidup itu menyenangkan. Penuh permainan. Melakukan apapun tanpa perlu pertimbangan. Tanpa beban. 

Sejak saat itu, bahkan sampai sekarang, makhluk yang bernama masalah itu selalu saja datang menyapa. 

Nah, gambaran orang-orang yang mendapat musibah dan masalah di Ar-Rum ayat 36 adalah sikap putus asa. 

Mungkin, karena saking puyeng dan stresnya menghadapi masalah, kepala mumet tak karuan, gak menemukan jalan keluar, dan lain-lain hingga mereka putus asa. 

Ketiga, Allah menyajikan tanda-tanda. Ya,  di ayat 37, Allah menegaskan bahwa ada tanda-tanda bagi orang yang beriman: bahwa Allah yang berkehendak untuk melapangkan atau menyempitkan rezeki seseorang.

Tanda-tanda bisa dibilang rambu-rambu. Seperti tanda bagi para pengendara kendaraan. Ada rambu berupa lampu merah-kuning-hijau. Ada rambu jalanan menurun, mananjak, menyempit, dan lain sebagainya. 

Rambu-rambu itu menjadi pegangan atau gambaran bagi setiap pengendara bahwa jalan yang akan dilalui akan demikian sesuai tandanya. 

Kalau begitu, rambu-rambu itu pun bisa dibilang petunjuk dan arahan. Bahasa agamanya dikenal dengan hidayah. Berasal dari kata hadaa-yahdii. 

Hidayah ini pun lagi-lagi kehendak Allah mau diberikan kepada siapa. Allah yang menentukan hidayah-Nya untuk siapa. Tapi, di ayat 37 dengan tegas Allah bilang hidayah itu untuk orang-orang yang beriman (la ayaatin li qoumin yu-minun).

Hidayah atau petunjuk itu berupa gambaran bahwa Allah yang berkehendak untuk melapangkan atau menyempitkan rezeki seseorang. 

Termasuk nikmat dan musibah tadi. Seakan-akan Allah mengingatkan begini: siapapun yang mendapat musibah dan masalah, jangan melihat orang lain yang dianggap senang dan bahagia. 

Jangan membandingkan diri yang sedang mendapat musibah dan masalah dengan orang lain yang mendapat rejeki dan nikmat berlimpah. Dan intinya jangan putus asa. Di ayat lain Allah pun tegas mengatakan: jangan putus asa atas Rahmat Allah, bukan?

Keempat, perilaku untuk mereka yang mendapat nikmat dan rezeki. Yaitu, menunaikan kewajiban mereka terhadap atas rezeki itu.  

Endilalah, saya melihat Ar-Rum ayat 36-38 ini seperti taksonomi Bloom dalam pendidikan. Ada unsur kognitifnya, ada unsur afektifnya, ada unsur psikomotoriknya. Termasuk unsur psikologisnya.

Unsur kognisinya terletak pada penanaman kesadaran dan pengetahuan bahwa apapun yang tersaji dan terjadi pada masing-masing orang adalah kehendak Allah. 

Kehendak Allah yang bisa dibilang takdir itu, bisa berupa rezeki dan nikmat pun bisa berupa musibah dan masalah. 

Meski sudah ditentukan, semua itu masih bisa diubah. Sebab ada yang namanya takdir mu'allaq. Takdir yang bisa diubah oleh manusia. Di antarnya lewat sedekah dan doa. 

Pengetahuan-pengetahuan tersebut kemudian melahirkan keyakinan bahwa semua berasal dari Allah. Apapun yang berasal dari Allah adalah nikmat. 

Hal ini terkait dengan rasa (afeksi). Apapun bentuknya, rezeki atau musibah, bisa dibilang adalah nikmat. Pandangan ini adalah sikap. Ujungnya adalah perilaku (psikomotorik). 

Dari semua itu, saya menangkap beberapa kata kunci, berupa; rezeki, nikmat, musibah, masalah, hidayah, sikap, hingga pola pikir yang ujungnya akan membentuk dan menjadikan seseorang menjadi beruntung.

Insyaallah kata-kata kunci ini akan saya bahas di tulisan selanjutnya.

Allahu a'lam bisshowab

Sawangan Baru, 08012022








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara "ro-a", "nazhoro", dan "bashoro" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-5)

Syukur (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ar-Rum ayat 38. bag-2)

"Adh'aful Iman" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-8)