Menafsir Gambar dan Teks Keberuntungan (Al-falah)
Kepastian itu samar. Pasti tapi tak pasti. Terlebih jika kepastian itu dikaitkan dengan bentuk. Sebab yang namanya bentuk, semuanya berpotensi berubah. Di situlah letak ketidakpastiannya. Gelas kopi yang terlihat pasti bentuknya bisa menjadi kepingan beling. Asbak rokok, meja, televisi, Meski begitu, tak sedikit orang yang tetap mendambakan terjadinya kepastian dalam bentuk.
Menjadi juara di perhelatan AFF kemarin adalah dambaan Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan di Timnas Indonesia. Pendambaan atas kepastian ini perlahan menjadi kekuatan untuk terus bertahan ataupun menyerang. Pun untuk para penonton dan pendukung timnas, dambaan kepastian menjadi juara adalah kekuatan untuk terus mendukung -melakukan sesuatu yang membuat kepastian semakin dekat dan terwujud.
Tak hanya sepak bola, hampir di semua kegiatan manusia -perseorangan atau komunal- bentuk kepastian menjadi sesuatu yang begitu didamba. Pasangan muda mudi yang tengah kasmaran misalnya, mendambakan bentuk hubungan yang lebih pasti: pernikahan. Mereka yang bekerja siang malam, berharap bentuk kepastian: upah. Dambaan akan bentuk kepastian itu hadir pada diri setiap orang,
Disadari atau tidak, dambaan itu tak hadir begitu saja, sebab banyak hal yang membuatnya hadir lalu "nginep" di benak setiap orang, begitu kata ahli psikologi. Dan biasanya, dambaan itu terbentuk dari gambaran-gambaran yang didapatkan sebelum-sebelumnya. Lebih-lebih jika gambaran itu menawarkan hal-hal yang menyenangkan, menggembirakan, dan membahagiakan.
Dari gambaran-gambaran itulah setiap orang mulai menafsir. Kalau melakukan ini maka akan begitu. Kalau tidak melakukan itu maka akan begini. Saya pun ingat dengan berbagai pepatah yang dijejalkan saat masih SD dulu. Kata-kata yang menjadi gambaran tentang sesuatu yang dihasilkan ketika melakukan sesuatu. Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, dan lain-lain.
Kata-kata itu seakan menjadi kepastian dalam bentuk dan tindakan. Jika berhemat akan kaya. Jika rajin akan pandai. Pun ketika mengusahakan sesuatu hasilnya tidak akan berkhianat. Gambaran-gambaran itu perlahan menjadi bentuk dambaan dalam benak saya. Sayangnya, seiring waktu, tak jarang kata-kata itu justeru membuat heran. Sebab, tak jarang ketika melakukan sesuatu, hasilnya tak selalu seperti itu; tak melulu pasti seperti itu.
Seperti cerita teman saya yang akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Sebaik dan sesabar apapun ia, tak membuat tingkah suaminya yang suka "jajan" berubah. Ia bilang: "apa yang gue lakukan, sebenar dan sebaik apapun buat mantan suami, tetap saja tak bisa mengubah kelakuannya. Ia tetap begitu." Dambaan keluarga sakinah mawadah wa Rohmah yanh menjadi bentuk kepastian yang didamba pun sirna. Dan cerita-cerita lain yang saya dapat dari teman-teman. Termasuk hal-hal yang saya alami sendiri.
Dan biasanya, ketika sesuatu terjadi tidak seperti gambaran yang diharapkan, padahal sudah melakukan sesuatu dengan maksimal dan optimal, maka yang terjadi adalah kekecewaan. Ini pun sebenarnya gambaran. Kekecewaan adalah gambaran. Sama halnya dengan kegembiraan dan kesenangan, semuanya adalah gambaran.
Gambaran-gambaran itu, Kesenangan itu kebahagiaan itu, kekecewaan itu, kesedihan itu, kemudian menjadi objek untuk ditafsir. Seperti Goenawan Mohamad yang bilang setiap orang hanya bisa menafsir. Menafsir gambar-gambar yang berseliweran baik di depan biji mata ataupun di benak setiap manusia.
Dan itulah yang terjadi: setiap orang punya tafsiran sendiri-sendiri atas gambar-gambar tersebut. Saat tafsiran tersebut diiyakan dan diikuti oleh yang lain, terbentuklah kesepakatan alias konsensus: Jika begini akan begitu, jika begitu akan begini. Dan seterusnya.
Hanya saja yang sering luput adalah, tafsiran bersifat tak pasti. Bisa benar bisa salah. Bisa cocok bisa tidak. Di sinilah letak ketidakpastiannya. Bahkan Goenawan Mohamad tegas menyatakan; meski diizinkan, menafsirkan adalah kelancangan. Ya, kelancangan yang diizinkan. "bahkan bila tafsirnya terasa jauh dari teks," ungkap penulis Catatan Pinggir Tempo ini.
Termasuk saat saya melihat dan menelusuri "keberuntungan". Semuanya bersifat tak pasti: bisa benar, bisa salah. Bisa tepat, bisa melenceng. Sebab, apa yang saya lakukan hanya menafsirkan gambaran-gambaran keberuntungan yang berlalu lalang di depan biji mata dan benak saya. Selebihnya, tafsiran ini pun kembali lagi menjadi gambaran-gambaran yang perlu ditafsirkan kembali: meski lancang, menafsirkan dizinkan. Meski jauh dari gambaran, menafsirkan tetap diizinkan.
Tentu saja, penafsiran yang diizinkan itu bukan penafsiran serampangan. Bukan seperti mereka yang ugal-ugalan di jalan. Tetap saja perlu ada koridor dan batasan dalam menafsirkan. Lebih-lebih jika itu terkait ayat-ayat suci, yang bagi sebagian orang menjadi sesuatu yang keramat dan tidak boleh diganggu gugat.
Saya pun mengalami ini. Ada orang yang mengirim pesan, tanpa basa basi langsung bilang: "ente sesat. Jangan menafsirkan ayat Al-Qur'an kayak gitu. Hapus semua tulisan ente! Ente udah dimasukin iblis liberal! Segera taubat! Kalau mau usaha, udah usaha aja! Kalau mau jualan baju, jualan baju aja! gak perlu bawa-bawa hadits dan Al-Quran segala!! Quran dan hadits sudah baku seperti itu, janga ditafsiri lagi dengan pemikiran nyeleneh. Ente masih bocah, ngaji aja, gak perlu nulis-nulis kayak gitu!" Dan kalimat-kalimat lain yang isinya senada.
Mendapati pesan seperti itu, saya hanya bisa senyum dan geleng-geleng kepala. Apa yang dikatakan orang tersebut ada benar dan tidaknya. Karena apa yang diucapkannya itu pun tafsiran dan pandamgannya atas ayat-ayat Alquran dan hadits. Dia menafsirkan bahwa apapun terkait ajaran agama yang tertuang dalam Al-Quran dan hadits sudah baku: tidak bisa diganggu gugat. Sementara, saya menafsirkan dari pandangan di sisi lain yang berbeda.
Misalnya saat saya bilang ada sikap tenang dan nilai ketenangan yang bisa diambil dari sholat khusyuk. Dia bilang sholat khusyuk, ya yang dilakukan dalam sholat, tidak boleh ditafsirkan dengan hal yang lain. Pandangannya benar, karena melihat sholat yang khusyuk ya saat melakukan sholat dan gerakannya itu. Sementara, saya melihatnya bukan dari gerakan saat sholat, tapi dari sudut sikap dan nilai yang terkandung dalam khusyuk, yaitu ketenangan. Lalu saya menafsirkan bahwa ketenangan itu pun bisa diterapkan dalam sikap dan perilaku. Ketenangan dalam bersikap itu yang kemudian bisa mendekatkan keberuntungan pada diri seseorang. Dan inilah sifat dalam tafsir-menafsir: akan selalu membawa ketidakpastian.
Meski begitu, gambaran dan teks-teks soal Keberuntungan (al-falaah) masih terus memanggil "kenakalan" dan "keisengan" saya: kenakalan untuk kebodohan dan keisengan atas segala pertanyaan. Panggilan ini yang membuat saya untuk terus membuat catatan tafsiran dari gambar-gambar dan teks Keberuntungan dari berbagai sumber dan referensi.
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 02012022
Komentar
Posting Komentar