Kepercayaan (Ash-Shiddiq) dan Keberuntungan (al-falaah)
Kriteria selanjutnya orang-orang (beriman) yang beruntung yang tertera pada Al-Mu'minun ayat 8 adalah orang-orang yang memelihara amanat dan janji.
والذين هم لامنتهم و عهدهم راعون
Sebelum melanjutkan catatan ini, saya hanya ingin menegaskan bahwa semua tulisan saya di blog ini adalah catatan-catatan saya dalam mencari arti dan makna keberuntungan. Pencarian ini untuk diri saya sendiri. Jika ada yang mengatakan bahwa saya sesat, kurang ngaji, menyebarkan ajaran gak benar, bahkan sampai bilang saya mesti bertaubat, maka saya sangat berterimakasih. Sebab bagi saya itu semacam pengingat (reminder) buat diri saya sendiri. Dan hal ini semakin mengamini asumsi saya bahwa bicara (dan nulis atau membuat catatan) tentang ajaran agama masih menjadi hal sensitif bagi sebagian orang, masih menjadi hal yang gak boleh dilakukan orang-orang bodoh dan biasa-biasa saja (bukan 'alim, bukan Kiayi, bukan ustadz, bukan tokoh agama, bukan anggota ormas keagamaan, dll) seperti saya. Kalaupun catatan saya mengandung kesalahan, alangkah lebih baik jika mengarahkan pada hal yang benar. Ajari saya yang perlu bimbingan ini. Kasih tahu saya yang bodoh ini.
Dan saya hanya ingin menegaskan kenapa saya membuat catatan (tulisan) ini, karena saya punya sembilan puluh sembilan alasan. Alasan pertama sampai ke ke sembilan puluh tujuh adalah karena saya suka mencatat apapun dan menulis apapun. Terlebih jika itu soal wawasan, pengetahuan, dan ilmu. Alasan ke sembilan puluh delapan adalah karena saya ingin terus belajar. Salah satu metode belajar saya adalah dengan menulis. Sebab, kata pepatah: ikatlah ilmu dengan tulisan. Ya, saya meyakini bahwa tulisan lebih mudah untuk dilihat dan dicermati kembali ketimbang ucapan. Jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam tulisan, ia bisa diperbaiki. Dan itulah proses pembelajaran.
Alasan ke sembilan puluh sembilan adalah, tulisan lebih kekal dibanding ucapan. Kecuali ucapan itu direkam dalam bentuk video. Suatu saat masih bisa dilihat kembali. Ya, semuanya itu adalah bentuk dokumentasi yang bisa saya lihat kembali suatu saat untuk saya pelajari. Bahkan, lebih jauh lagi, saya bisa belajar tentang nabi Muhammad dan ajaran-ajarannya justeru dari tulisan-tulisan para ulama. Sebab saya belum pernah bertemu langsung dengan nabi. Tulisan-tulisan para ulama yang berbentuk kitab atau buku inilah yang menjadi bahan referensi saya untuk belajar. Meski para penulisnya sudah wafat, saya masih bisa belajar dari para ulama tersebut. (Duh jadi curhat lagi, hehehehehe).
Nah, kembali pada proses pencarian saya tentang keberuntungan yang saat ini baru tiba di Al-Mu'minun ayat 8. Ayat ini bercerita tentang mereka yang beruntung adalah yang bisa memelihara dan menjaga amanat serta janji mereka. Saya sangat mengamini hal ini.
Ada ungkapan yang bilang: kepercayaan itu sangat berharga. Uang sebanyak apapun tak kan cukup untuk membeli kepercayaan itu. Ini jika terkait dengan hubungan ke sesama manusia. Saya pernah mengalami dipercaya dan tidak dipercaya orang. Ketika dipercaya oleh seseorang, sungguh, itu suatu keberuntungan yang tak ternilai. Sebaliknya, Ketika sudah tak dipercaya, sebaik apapun yang saya lakukan, sebenar apapun yang saya ucapkan, akan selalu salah bagi orang yang tak percaya.
Ya, menjaga amanat dan menepati janji, salah satu yang dihasilkan adalah kepercayaan orang lain. Dalam interaksi apapun, terlebih dalam transaksi (jual beli, usaha, bisnis, dll), kepercayaan bisa menjadi modal yang tak terkira nilainya. Nah, menulis dan membuat catatan ini pun bentuk upaya dan usaha saya untuk memenuhi janji pada diri sendiri untuk terus belajar. Sebab, saya akan selalu berusaha agar tidak menjadi bagian dan masuk pada golongan munafik. Ya, munafik. Hadits tentang ciri dan tanda orang munafik sudah sangat familiar bukan?
Bahkan, begitu bejibun ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan tentang munafik. Hingga ada surat yang diberi nama Al-Munafiqun. Akan terlalu panjang jika saya saya catat semuanya di sini. Misalnya "asbab Nuzul" surat An-Nur ayat 23 yang cerita tentang Nabi Muhammad yang hampir saja terpedaya oleh orang munafik hingga beberapa saat sikap nabi berubah kepada Aisyah. Kemudian ada surat An-Nisa ayat 145. Ada lagi Al-Baqarah ayat 19. Di awal-awal ayatnya pun, surat Al-Baqarah banyak cerita tentang orang-orang munafik. Dan masih banyak lagi ayat-ayat suci yang cerita soal munafik.
L Imam Ath-Thabrani lewat hadits riwayatnya menyatakan bahwa hal yang paling Rosulullah khawatirkan sepeninggalnya adalah orang munafik yang pintar bicara.
Lewat pencarian dan catatan ini, saya semakin meraba diri (instropeksi), dan semakin berharap pada Allah, agar dijauhkan dari hal-hal yang bisa menarik saya pada sifat dan sikap munafik. Sepertinya, jika keberuntungan menjauh dari saya, bisa jadi itu disebabkan oleh sikap saya sendiri. Disebabkan karena perbuatan saya sendiri yang mempertontonkan sikap orang yang munafik.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya. Semoga Allah terus memberi hidayah pada saya agar tidak melakukan hal-hal kemunafikan.
Selanjutnya yang membuat saya menarik adalah kata "ro'un" pada ayat ini. Pasalnya ini mengingatkan saya pada "kullukum ro'in, wa kullukum mas-ulun 'an ro'iyyatihi".
Kata "ro'un" pada hadits itu sering diartikan sebagai pemimpin. Orang yang menguasai, bisa memanaje, mengorganisir, mengatur, dan tentu saja bisa menjaga amanah kepemimpinannya.
Nah, apakah ini berarti orang-orang yang bisa mengelola, mengatur, mengorganisir, dan amanah terhadap janji serta segala tugas dan tanggungjawabnya, masuk ke dalam kategori orang beruntung?
Yang pasti, inilah yang mesti saya lakukan agar beruntung: jangan munafik! Jadilah Ash-Shiddiq. Ya, seperti Abu Bakar yang berjuluk demikian. Meski tak bisa sepenuhnya, seenggaknya ada upaya dan usaha untuk meniru sahabat sekaligus mertua nabi ini.
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 27122021
Komentar
Posting Komentar