Akhlak, Sikap, dan Pakaian Keberuntungan (al-falaah)
Semakin ke sini, saya semakin mengamini bahwa apapun ada pola-pola yang membentuk sesuatu terjadi dan ujungnya dilakukan serta dialami oleh seseorang. Termasuk saya sendiri. Layaknya sebuah pakaian yang tercipta di sebuah konveksi.
Lembaran kain adalah bahan pokok. Ini seperti daya pikir, bentuk pemikiran seseorang yang masih luas dan umum. Di titik ini, layaknya pandangan umum seseorang tentang sesuatu. Pandangan yang biasanya berdasar pada kekuatan konsensus yang terbentuk di sekitarnya.
Lembaran kain itu Kemudian diberi gambar pola. Pola badan, pola tangan, pola kerah, dan lain-lain. Pola-pola ini layaknya kejadian, suatu hal, unsur-unsur, dan faktor-faktor yang merupakan satu kesatuan tapi bisa dilihat secara terpisah. Karena masing-masing bisa berdiri sendiri dan memiliki dunianya sendiri. Dan ini seperti pola pada kain yang dipotong. Ya, pola-pola pada kain itu kemudian dipotong menjadi satu kesatuan dan terpisah sendiri-sendiri.
Pola-pola inilah yang kemudian akan membentuk sebuah pakaian. Semakin bagus dan indah pakaian yang diinginkan, maka pola pakaian yang dibuat pun mesti sedemikian rupa mengikuti bentuk pakaian yang diinginkan.
Pola-pola sudah ada, pakaian yang diinginkan pun sudah tergambar. Tapi itu tak akan jadi, kalau tidak ada proses lain, diukur, dijahit, dirapikan, dan seterusnya. Kain-kain yang sudah dipola dan dipotong, mesti dijahit dan melalui proses lain terlebih dahulu agar tercipta pakaian yang diinginkan.
Termasuk soal keberuntungan. Menjadi orang yang beruntung adalah "pakaian" yang diinginkan. Nah, agar pakaian ini jadi, mesti ada bahan-bahan seperti kain, benang, resleting, mesin jahit, dan sebagainya. Beruntungnya, bahan-bahan keberuntungan itu sudah tersedia. Disediakan oleh Yang Maha Pencipta Segalanya.
Bahan-bahan keberuntungan itu kalau merujuk pada surat Al-Mu'minun ayat 1-10, di antaranya adalah. Pertama, keyakinan bahwa Allah telah menyediakan (banyak) keberuntungan. Ini ditegaskan dengan kata "qod aflaha". Kata yang masuk dalam fi'il madhi atau past tense yang artinya apapun yang masuk dalam bentuk kata ini, adalah hal dan sesuatu yang pasti. Terlebih ditambah penekanan dan penegasan dengan kata "qod".
Kedua, keberuntungan yang Allah sediakan ini adalah untuk orang-orang yang beriman (al-mukmin). Saya tak ingin membahas tentang bagaimana orang mukmin, karena akan sangat luas menelusurinya. saya hanya ingin mengambil sedikit saja tentang sifat dan karakter yang bisa diambil. Di antaranya adalah keyakinan itu sendiri. Yakin dan percaya meski terlihat sama, tapi saya melihat ada perbedaan antara keduanya. Misalnya pakaian bagus tadi. Setelah melihat gambarnya, ada testimoni dari orang lain yang memakainya, hingga terdoktrin dari iklan-iklannya, otak kita mulai menerima "bahan-bahan" bahwa pakaian itu bagus. Perlahan kita mengamini bahwa pakaian tersebut bagus. Di sinilah letak percaya. Bedanya dengan yakin, setelah percaya bahwa pakaian tadi bagus, seseorang akan membeli kemudian memakai dan merasakannya langsung. Setelahnya dia pun menyimpulkan bahwa pakaian itu memang bagus di badannya, nyaman dipakai, dan sebagainya. Nah, inilah yakin.
Setelah meyakini bahwa Tuhan telah menyediakan keberuntungan untuk mereka yang yakin (beriman), bahan ketiga adalah harapan. Ini tergambar dari sholat yang secara etimologi berarti doa. Bentuk lahirnya adalah sholat. Nah, bentuk batinnya banyak, di antaranya adalah harapan. Tentu saja harapan-harapan yang baik. Seperti penelitian Richard J Wiseman yang menyatakan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang memupuk harapan-harapan baik pada dirinya. Bedanya dengan mukmin, harapan itu mesti diarahkan kepada Tuhan. Apapun harapannya, mesti disandarkan pada Tuhan.
Keempat, ketenangan. Tenang lahir batin. Tenang pikiran dan perasan. Tenang otak dan hati. Ini disimbolkan dengan "khusyuk". Terkait tenang ini, saya ingin çerita tentang seorang teman yang tengah mengalami persoalan bertubi-tubi. Mulai rumahnya kebakaran, anaknya meninggal, hilangnya pekerjaan, dan persoalan-persoalan lain yang datang di waktu berdekatan. Hal menarik dari ceritanya adalah ia masih bisa melalui hari-harinya dengan baik. Semua itu karena ketenangan dirinya. "Kalau gak tenang, otak dan hati gak tenang, bakalan runyem semuanya. Yang ada makin nambah masalah," ceritanya pada saya. Perlahan, kehidupannya berjalan dengan baik-baik saja, persoalan yang datang bertubi-tubi tersebut meski berat bisa diselesaikan dan dilalui dengan baik.
Kelima, menjauhi hal yang tidak bermanfaat, tidak berguna, bathil, dan tidak mengandung maslahat. Ini ditegaskan dengan kata "lagwun". Meski terkesan pragmatis, tapi begitulah hukumnya. Manfaat atau tidak, berguna atau tidak, baik atau tidak, jelek atau tidak, kembali pada masing-masing orang. Sebab, ada hukum yang mengatakan bahwa tidak ada hal yang sia-sia pada ciptaan Tuhan. Nah, soal manfaatnya untuk apa kembali pada siapa dalam menggunakannya. Jadi, bisa dibilang, apapun memiliki manfaat, ada manfaatnya, tinggal pilih mau menggunakan dan mengambil manfaat yang mana.
Keenam, suka berbagi. Ini dilihat pada kata zakat yang pada ayat tersebut lebih condong pada infak. Infak yang lekat dengan berbagi. Ini pun seperti yang dibilang orang-orang: saat kita berbagi pada orang lain, hakekatnya kita memberi untuk diri sendiri. semakin banyak yang kita bagi untuk orang lain, hakekatnya semakin banyak yang kita terima.
Ketujuh, menjaga integritas dan kehormatan diri. Ini bisa dilihat dari kata "al-furuj" yang secara bahasa tidak hanya berarti kemaluan. Tapi bisa berarti juga kehormatan, kenyamanan, kelapangan.
Kedelapan, Menjaga amanah dan menepati janji. Ini terkait dengan ungkapan kepercayaan itu tak terhingga nilainya. Terlebih dalam urusan dengan sesama manusia.
Kesembilan, terus menjaga harapan dan doa-doanya pada Tuhan. Sepertinya kenapa harapan ini diulang kembali, untuk penegasan bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya tempat bersandar. Pun bisa jadi perlu ada pandangan positif (positive thinking) dalam diri seseorang terhadap apapun. Sebab, harapan-harapan baik akan mengarahkan pada pandangan yang baik pula, bukan?
Nah, itu di antara bahan-bahan yang sudah disediakan oleh Tuhan untuk manusia agar beruntung. Bahan-bahan itu sudah ada pada diri setiap orang. Dan sepertinya bisa untuk dilakukan.
Seperti pakaian, Bahan-bahan itu tidak akan terbentuk menjadi pakaian yang bagus (keberuntungan) kalau tidak dijahit alias tidak disatukan dengan perilaku. Bisa dibilang itulah sikap-sikap yang mesti dimiliki seseorang agar beruntung. Walau, beberapa ahli psikologi mengatakan tak selalu sikap terwujud dalam perilaku, seenggaknya sikap-sikap inilah yang mesti dipegang oleh seseorang. Ujungnya akan menjadi karakter yang bisa dibilang adalah akhlak. Nah, sepertinya akhlak lah yang akhirnya menentukan keberuntungan seseorang.
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 29122021
Komentar
Posting Komentar