Takwa dengan sederhana (menjadi orang yang beruntung)
Dalam surat At-Taghobun ayat 16 Allah berfirman:
فاتقوا الله ماستطعتم واسمعوا واطيعوا وانفقوا خيرا لأنفسكم ومن يوق شح نفسه فالئك هم المفلحون
Ayat ini seakan ingin menegaskan tentang tahapan atau apa saja yang mesti dilakukan agar menjadi orang yang beruntung. Setidaknya ada lima (5) kata kunci, yaitu: takwa, dengar, taat, infak, dan kikir.
Hak pertama adalah takwa. Saya jadi ingat tentang cerita ada tiga orang Kiayi yang mesti tampil ceramah dalam satu panggung.
Kiayi pertama, menegaskan agar orang-orang menjadi manusia yang bertakwa dengan takwa yang sesungguh-sungguhnya. "اتقوا الله حق تقاته". Para jamaah pun menyimak dengan serius.
Kemudian tampillah Kiayi kedua. Kiayi ini menegaskan agar para jamaah menjadi manusia bertakwa sebisanya saja. "اتقوا الله ماستطعتم". Jamaah mulai bingung. Tadi, mesti bertakwa dengan sungguh-sungguh dan serius. Sekarang bertakwa sebisa dan sesanggup masing-masing orang.
Lalu tampil kiayi ketiga. Kiayi ini langsung bilang: "gak usah bingung. Takwa sungguh-sungguh, benar. Takwa sebisa kalian juga benar. Silakan pilih saja."
Ya, kata takwa bagi muslim (laki-laki) setidaknya seminggu sekali, setiap solat Jumat akan diucapkan Khotib. Karena pesan takwa menjadi salah satu syarat khutbah Jum'at.
Dan biasanya, umumnya para Khotib Jumat akan bilang bahwa takwa adalah "imtisalu awamirillah wajtinabu nawahih" alias menjalan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Ini pendapat umum dan pengertian secara umum. Walau terlihat sederhana, tapi sungguh, pengertian ini luar biasa dahsyatnya. Dahsyat sulit dan beratnya untuk dilakukan. Kenapa?
Karena ada kata "segala" dan "semua". Termasuk kata perintah Serta larangan Allah, di situ pun menggunakan kata jamak, alias banyak. Sederhananya: perintah-perintah dan larangan-larangan.
Bisa dibayangkan, berapa banyak perintah dan larangan Allah? Terus, kalau takwa diartikan dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah, maka jika ada satu atau sedikit saja perintah Allah yang tidak dikerjakan, atau ada satu dan sedikit saja larangan Allah yang dikerjakan, maka berarti siapapun belum termasuk dan belum bisa dibilang takwa. Ngeri bukan?
Tapi, lagi-lagi, saya sendiri akan memilih kata kiayi yang kedua tadi: menjadi orang bertakwa sebisa dan sesanggup saya. Pun menjadi takwa yang simpel ini (sebisa dan sesanggup masing-masing orang) malah menjadikan dan menyebabkan seorang jadi beruntung.
Lalu takwa yang simpel dan sederhana itu yang bagaimana?
Untuk cari jawaban pertanyaan ini pun ternyata tidak simpel. Tapi, setidaknya takwa bisa dilihat lebih dahulu dari sisi arti secara bahasa (لغة).
Akar kata takwa yaitu: waqo - yaqii -wiqoyatan. Secara sederhana bisa diartikan dengan memelihara. Pun bisa diartikan dengan menghindari.
Tentu kedua kata ini (memelihara dan menghindari) punya makna dan arti yang berbeda, bukan?
Tapi, setidaknya dari segi fungsi kedua kata ini memiliki kemiripan dan kesamaan. Yakni memelihara (sesuatu) agar (menjadi sesuatu), dan menghindari (sesuatu) dan agar (jadi sesuatu).
Contoh sederhana: saya memelihara pola pikir positif, agar sikap saya positif. Lalu saya menghindari pikiran negatif, agar sikap saya positif.
Kalimat pertama, lebih kepada penguasaan pengetahuan akan hal-hal baik dan positif agar lahir sikap yang baik dan positif juga. Ini seperti semua perintah Allah yang hakikatnya mengandung kebaikan dan bernilai positif bagi manusia. Ya, apapun yang Allah perintahkan, hakikatnya baik bukan?
Sementara kalimat kedua, lebih mengarah pada penguasaan pengetahuan akan hal-hal yang tidak baik atau negatif, agar sikap yang lahir kemudian adalah hal-hal yang baik dan positif. Ini pun seperti larangan-larangan Allah. Apapun yang dilarang Allah, hakikatnya mengandung hal tidak baik atau negatif bagi manusia. Walaupun ada hal positifnya, hal negatifnya biasanya lebih banyak. Misalnya seperti minuman keras, ada sisi positifnya, tapi sisi negatifnya lebih banyak.
Nah, ini berarti, agar tahu apa yang baik (perintah Allah) dan apa yang buruk (larangan Allah) maka yang diperlukan oleh setiap orang adalah mencari tahu. Bisa belajar, ngaji, atau bertanya kepada yang tahu.
Saya jadi ingat doa Imam Malik:
اللهم أرنا الحق حقا، وارزقنا اتباعه. وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
Ketika seseorang tahu mana yang hak (benar, baik, positif) dan mana yang bathil (tidak benar, jelek, buruk, negatif) hakikatnya ia pun bisa dibilang telah menjadi orang bertakwa.
Hal itu seperti Al-Furqon, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang hak dan bathil, yang tercantum pada surat Al-Anfal ayat 29.
Bisa dibilang, takwa yang simpel dan sederhana adalah mengetahui mana yang hak dan mana yang bathil. Tentu saja, tidak sekadar tahu. Setelah tahu, seyogyanya ikut dan melakukan yang hak dan menghindari yang bathil, seperti doa Imam Malik tadi.
Kemudian saya jadi ingat cerita tentang Abu Huroiroh yang ditanya oleh seseorang tentang apa itu takwa. Abu Huroiroh tidak langsung menjawab apa itu takwa, tapi beliau memberikan ilustrasi dan pertanyaan balik kepada si penanya.
Kira-kira begini pertanyaannya: "kamu misalnya dalam perjalanan. Kamu pernah lihat jalan yang akan kamu lalui penuh duri?" Orang itu pun menjawab: "pernah."
"Bagaimana tindakan kamu untuk melewatinya?" Tanya Abu Huroiroh kembali.
Orang itu pun bilang ia akan hindari, atau mencari jalan lain yang tidak berduri, atau melangkahi duri-durinya, atau malah mundur tidak jadi melanjutkan perjalanan. "Nah, itulah takwa," jawab Abu Huroiroh.
Sederhananya, ketika tahu akan ada sesuatu yang bahaya dan tidak baik buat diri saya, maka menghindari hal tersebut itulah yang disebut takwa.
Pertanyaannya, lalu bagaimana agar tahu sesuatu itu bahaya dan tidak baik buat kita?
Jawaban sederhananya pun seperti tadi, belajar. Ngaji. Atau bertanya kepada yang tahu.
Apakah cukup tahu saja?
Setidaknya fondasi awalnya adalah tahu. Tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Tahu mana perintah Allah, mana yang larangannya.
Fondasi itu kemudian ditambah dengan dinding, jendela, pintu dan atap, agar jadi sebuah rumah takwa yang Kokoh.
Lalu dindingnya, jendelanya, pintunya dan atapnya apa saja?
Setidaknya saya ingin mengutip beberapa pendapat Ulama. Pertama pendapat Sayyid Al-Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati dalam kitab Kifayatu Al-Atqiya wa Minhaju Al-Ashfiya, yang menerangkan bahwa takwa adalah Ibarat, ungkapan, ekspresi dari mengikuti (menaati) segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah secara lahir dan batin yang diikuti rasa takut dan ngeri.
Ya, sederhananya, takut kepada Allah, secara lahir dan batin. Lahirnya, misalnya mau melakukan sesuatu, batinnya, akal dan mata batin kita akan melihat (simpelnya: membayangkan) tentang apa hal yang akan kita kerjakan disukai Allah atau malah buat Allah marah.
Lebih sederhananya lagi, lihat, pertimbangkan, pikirkan, lalu bayangkan: kira-kira Allah suka gak yah kalau saya lakukan ini, atau Allah malah marah?
Kalau terjadi kebimbangan, lagi-lagi belajar, cari tahu, ngaji, atau bertanya kepada yang tahu.
Sikap seperti ini seperti " tafakkur dan tadabbur" Tafakkur lebih kepada mengarahkan akal/hati memahami tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk. Misalnya, ketika hendak melakukan sesuatu. Jika tafakkur, yang dilakukan orang-orang adalah mengecek apakah ini benar (haq) atau bathil.
Sementara tadabbur, terletak pada aktifitas melihat akibatnya. Seperti pendapat Ibn Atiyah yang bilang tadabbur itu melihat akibat sebuah perkara dan tafsir dari sesuatu.
Pun Al-Baghawy yang bilang tadabbur itu melihat akhir sesuatu. Begitu juga dengan Zamakhsyari yang bilang tadabbur itu merenungkan dan memperhatikan akhir sesuatu dan apa yang ditimbulkannya.
(Ah, keisengan saya kambuh.) Dalam Al-Qur'an untuk menyebut kata tafakkur dan tadabbur. Diksi yang sering digunakan adalah "afala"; afalaa yatafakkarun. Afalaa yatadabbarun. Yang artinya; apakah (mereka) tidak berfikir. Apakah (mereka) tidak melihat dampak dan akibatnya? ini indah sekali. Terlebih jika ditambah tanda tanya di akhirmya.
Ini bentuk kritik Al-Qur'an yang aduhai. Padahal ini kata perintah. “Apakah tidak”, seperti bentuk kritisisme al-Qur’an yang sangat tajam. Setajam silet, entah.
Al-Qur'an seperti tengah menyindir kita yang tak mau berpikir. Al-Qur'an seperti tengah memancing kepekaan kita untuk merenung dan memperhatikan kehidupan.
Dalam ilmu sastra Arab kata "apakah tidak (Afalaa) ini disebut “Istifham Inkari“. Jika diterjemahkan secara bebas alias bahasa sehari-hari, seakan-akan Al-Qur'an bilang; “hei, kalian, elu, anda, kok gak mikir?" "Kuy lah mikir dan lihat akibat dari yang diperbuat!".
Termasuk soal melihat yang benar (haq) dalam perintah-perintah Allah dan yang bathil dalam semua larangan Allah. "Please deh. Jangan asal ngerjain sesuatu. Pikirin dan renungin dulu kalau itu dikerjakan, kira-kira efeknya apa dan bagaimana!"
Terkait tafakkur dan tadabbur, Al-Jurjani pun bilang; “Tadabbur itu memikirkan akhir masalahnya. Ia tampak seperti tafakkur yang mengarahkan akal atau hati memahami tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk. Tapi tadabbur, lebih pada mengarahkan akal atau hati kepada akibat atau akhirnya."
Pun kira-kira begitu dengan takwa. Sederhananya: pikirkan apakah yang akan kita kerjakan dan lakukan itu benar (haq) atau malah bathil? Lalu efeknya, apakah Allah suka atau marah? Kalau kira-kira Allah marah, ya jangan lakukan. Takut kan kalau Allah marah?
Kalau masih belum tahu juga apa yang akan kita kerjakan itu haq atau bathil, belum tahu juga kira-kira Allah akan suka atau marah, ya jawabannya cuma satu: cari tahu. Caranya, bisa belajar, ngaji, atau tanya ke orang yang tahu.
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 07022022
Komentar
Posting Komentar