Surat Ar-Rum ayat 36-38 menyajikan gambaran tentang rahmat Allah. Tampilannya ada yang berupa rezeki. Pun berwajah musibah.
Pada ayat 36 tersaji gambaran sikap yang biasanya dianggap "lumrah" dan "fitrah". Saat dapat rezeki dan nikmat, gembira. Saat dapat musibah dan masalah, putus asa. Sikap tersebut disentil Allah pada ayat selanjutnya dengan penegasan; apapun yang tersaji di muka bumi adalah kehendak-Nya.
Jadi, jangan terlalu. Ketika dapat rezeki, ya jangan terlalu gembira. Apalagi sampai menganggap bahwa rezeki yang diperoleh semata-mata hasil usaha dan upaya manusia sendiri. No! Enggak begitu Bang!
Hakekatnya, Allah lah yang melapangkan rezekinya. Pun dengan mereka yang telah berupaya gigih dan keras untuk meraih rezeki tapi masih "seret", hakekatnya itu pun kehendak Allah. Jadi, gak usah terlalu sedih, apalagi sampai putus asa. Walaa tay-asuu min rohmatillah.
Kalau begitu, maka yang perlu diupayakan adalah mendekati yang punya kehendak dan kuasa tersebut. Soal pedekate-nya, sepertinya banyak cara. Bisa dengan berdoa dan meminta yang spesifik dan jelas pada-Nya. Bisa dengan memuji-Nya "abis-abisan". Bisa dengan melakukan apapun yang disenangi-Nya. Dan sebagainya.
Dasar yang mesti jadi keyakinan dalam diri adalah jangan pernah putus asa, hilang harapan pada Rahmat Allah. Terus "pepet" Allah dengan berbagai cara. Lalu upayakan (ikhtiar), dengan kadar kemampuan masing-masing. Ittaqullah mastatho'tum. Tentu saja kadar yang terbaik.
Lalu bagi mereka yang dapat rahmat berupa kelapangan rezeki, eit, entar dulu, Bang! Jangan terlalu seneng dulu! Allah pun nyentil lagi soal ini di ayat 38. Pasalnya, ini terkait dengan syukur ente Bang.
Ini seperti kisah Nabi Sulaiman dan singgasana Ratu Bilqis yang diceritakan di surat An-Naml ayat 40. Kira-kira begini ceritanya:
Saat Nabi Sulaiman bertanya pada semua makhluk, kira-kira siapa yang bisa pindahin singgasana ratu Bilqis ke hadapannya, datanglah berbagai jenis makhluk. Ada yang bilang sanggup memindahkan singgasana tersebut sebelum nabi Sulaiman bangkit dari duduk. Ada yang begini. Ada yang begitu.
Hingga datanglah seorang yang hebat dari ahli kitab. Ia bilang akan bawa singgasana tersebut sebelum mata nabi Sulaiman berkedip. Dan taraaaa, setelah berkedip, Nabi Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya.
Lalu dia pun berkata; "ini karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari nikmat-Nya. Siapapun yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan siapapun yang ingkar (kufur) maka sesungguhnya Tuhanku Maka Kaya dan Maha Mulia."
Ya, kelapangan rezeki itu wajib dan kudu disyukuri. Lagi-lagi saat menyukuri nikmat tersebut, hakekatnya itu kembali ke diri sendiri, kebaikan itu kembali untuk diri sendiri. Nah, di surat Ar-Rum ayat 38, terpampang beberpa gambaran dan panduan apa yang mesti dilakukan seseorang saat mendapat kelapangan rezeki. Yaitu: "fa-aati dzal Qurba haqqohu' Wal miskiin Wabnassabiil."
Setidaknya ada tiga orang yang mesti ikut "merasakan" kelapangan rezeki seseorang. Pertama, keluarga. Kedua, orang miskin. Ketiga, para musafir. Oramg-orang inilah yang mesti ditunaikan "haq-nya".
Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menyatakan kata "haqqohu'" pada ayat ini berarti silaturahmi dan segala kebaikan. Nah, ini berarti siapapun yang menerima kelapangan rezeki kudu silaturami dan memberikan kebaikan-kebaikan kepada tiga golongan tadi. Hal ini, bagian dari bentuk dan rasa syukur yang mesti dilakukan. Ekspresi syukur seseorang atas kelapangan rezeki yang diterimanya.
Ah, saya jadi ingat Imam al-Ghazali, rohimahullah, yang dalam kitab Mukasyafatul Qulub menyatakan bahwa syukur itu terbentuk dari tiga hal. Pertama, ilmu. Kedua, hal atau keadaan. Ketiga, amal atau perbuatan.
Ini berarti, jika tiga hal tersebut belum terpenuhi, maka bisa bisa dibilang syukur belum terbentuk. Artinya, seseorang belum dianggap bersyukur. Aiihhh ngeri kali! Pun berarti seseorang mesti memahami terlebih dahulu apa itu syukur.
Alhamdulillahnya, Al-Ghazali tidak berhenti berhenti di situ. Alhamdulillahnya, Al-Ghazali tidak hanya menakut-nakuti dengan tiga hal yang mesti dipenuhi agar syukur terbentuk saja. Sebab, Al-Ghazali melanjutkan penjelasannya tentang apa dan bagaimana syukur itu.
Ya, dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali bilang bahwa syukur itu bahagia dan senang kepada Yang Memberi nikmat.
(الفرج بالمنعمم مع هيئة الخضوع والتواضع)
Bentuk ekspresi berupa bahagia dan senang terhadap sang pemberi nikmat itu mesti diirinhi dengan sikap penuh ketundukan dan kerendah-hatian.
Sederhananya, syukur itu senang dan gembira kepada Allah Yang memberi kenikmatan dan kelapangan rezeki. Bukan senang kepada bentuk rezekinya. Bukan bahagia atas bentuk nikmatnya. Bahagia dan senang tersebut pun mesti diiringi dengan ketundukan (الخضوع) dan kerendah-hatian (التواضع).
Kemudian, Al-Ghazali mengilustrasikan hakekat syukur itu bukan karena bentuk rezekinya tapi kepada yang memberi, dengan sebuah cerita tentang seorang raja yang ingin melakukan perjalanan. Lantas raja rersebut menghadiahkan seekor kuda kepada seseorang dengan tujuan agar ia mau menemani.
Ilustrasi al-Ghazali ini setidaknya memberi tiga gambaran. Pertama: bentuk (rezeki) berupa hadiah seekor kuda. Kedua, pemberi hadiah yaitu raja. Dan ketiga, adanya tujuan, yaitu menemani perjalanan sang raja.
Nah, seseorang yang mendapat hadiah tersebut, jika senang dan gembira karena bentuk hadiahnya, karena bentuk rezekinya, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa ini bukan sebenar-benarnya syukur.
Sekali lagi, Al-Ghazali menegaskan cerminan syukur yang hakiki adalah saat seseorang senang dan gembira kepada yang memberi bukan kepada bentuk atau barang pemberiannya. Sekali lagi, ke yang ngasih, bukan ke apa yang dikasih. Lalu, senang dan gembiranya itu membuat ia semakin dekat kepada yang memberi.
Lalu bentuk rezeki dan nikmatnya mesti diapain?
Imam Al-Ghazali pun bilang agar semua bentuk pemberian (rezeki dan nikmat) itu diarahkan, digunakan ke hal-hal yang membuat seseorang lebih dekat kepada yang memberi. Caranya, ya menggunakan pemberian (barang, bentuk rezeki, dll) tersebut ke berbagai hal yang membuatnya semakin dekat dengan yang memberi.
Nah, kalau mengikuti surat Ar-Rum ayat 38, maka menunaikan hak (silaturahmi dan kebaikan-kebaikan lain) kepada keluarga, orang miskin, dan para musafir, bisa jadi salah satu dari sekian banyak cara penggunaan yang tepat atas kelapangan rezeki yang diberikan oleh Allah.
Selain itu, Imam Al-Ghazali pun menggambarkan, setidaknya ada empat cara syukur. Yaitu: syukur dengan hati, syukur dengan lisan, syukur dengan perbuatan, dan menjaga nikmat dari segala hal yang merusak.
Pertama, syukur dengan hati. Artinya setiap orang harus paham (tahu ilmunya) bahwa semua nikmat yang ada pada dirinya berasal dari Allah. Ini seperti yang tertera pada surat an-Nahl ayat 53.
وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ
Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.
Kedua, syukur dengan lisan. Ini lumrah. Biasa dilakukan siapapun dengan mudah. Saat menerima rezeki atau merasakan nikmat, akan terucap dari mulutnya. Alhamdulillah atau as-syukru lillah. Ini bagus. Penting. Perlu. Setidaknya masih ada kesadaran pada diri seseorang mesti mengucap kalimat syukur.
Hanya saja, perlu ditambah pemahaman lebih lanjut. Seperti yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juz IV:
م إنهم إن عرفوا نعمة ظنوا أن الشكر عليها أن يقول" بلسانه الحمدلله الشكر لله ولم يعرفوا أن معنى الشكر أن يستعمل النعمة في إتمام الحكمة التي أريدت بها و ".هى طاعة الله عز وجل
Sayid Muhammad Az-Zabidi dalam Syarah Ihya, di Kitab Saadatul Muttaqin menyatakan bahwa ucapan tahmid (Alhamdulillah, as-syukru lillah) itu penting, tetapi dalam konteks menyukuri nikmat, orang yang memuji Allah melalui tahmid harus memahami maknanya.
Nah, pad Ihya Ulumuddin juz IV tersebut dijelaskan, bahwa (menyukuri) nikmat itu tidak sekadar mengucap tahmid atau syukur saja, tapi mesti memahami maknanya, yaitu menggunakan (semua bentuk) nikmat untuk menyempurnakan ketaatan pada Allah 'azza wajalla.
Eladalah, tentang semua kebaikan yang dilakukan seseorang akan kembali pada dirinya sendiri, termasuk dengan syukur-menyukuri ini, tiba-tiba saya terbayang gambaran seperti ini: misalnya saya punya bos. Suatu ketika bos ini ngasih saya mobil. Nah, kalau saya senang karena mobilnya, suatu saat kesenangan saya ini bisa hilang. Karena mobil ini bisa saja berkurang fungsi atau kekerenannya. Tapi, kalau saya senang pada bos yang ngasih mobil ini, lalu saya melakukan apapun yang bikin saya semakin dekat dengannya, dan tentu saja yang menyenangkannya, sepertinya ke depan, bukan hanya mobil yang dikasih. Mungkin perusahaan, atau apapun yang lebih besar. Entahlah.
Begitu juga dengan Allah. Kalau saya senang karena Semua bentuk nikmat dan rezeki yang dikasi oleh-Nya. Suatu saat rezeki atau nikmat itu akan berkurang rupanya atau bahkan habis bentukya. Tapi kalau saya senang ke Allah Yang Ngasih, lalu saya lakukan apapun yang menyenangkan-Nya, mengerjakan apapun yang membuat saya semakin dekat pada-Nya, ah, saya tak terbayang betapa banyak nikmat yang akan Dia kasih.
Ini kalau saya pakai pendekatan nikmat dan syukur, tapi kalau pakai pendekatan cinta, akan beda lagi. Tak perlu bentuk nikmat, sudah bisa dekat dengan-Nya saja sudah membahagiakan dan menyenangkan.
Beruntungnya, ittaqullah mastatho'tum. Takwa kepada Allah sebisa dan sesuai kemampuan masing-masing. Kemampuan saya apakah di tingkatan karena cinta, di tingkatan karena ingin dekat, di tingkatan karena ingin nikmat, di tingkatan karena hanya ingin jadi hamba yang bersyukur, atau di tingkatan apa, hanya Allah Yang Tahu.
Ketiga syukur dengan perbuatan. Setelah tahu apa itu syukur, dan makna hakekat syukur, yang perlu dilakukan adalah itu tadi; mengupayakan dan mengusahakan apapun yang membuat diri semakin dekat kepada Allah.
Bukankah syukur yang hakiki adalah senang dan gembira kepada Sang Pemberi nikmat dan menggunakan nikmat tersebut untuk hal-hal yang membuat diri semakin dekat kepada Sang Pemberi nikmat? Dan Al-Ghazali pun bilang segala bentuk nikmat itu untuk menyempurnakan ketaatan kepada Allah, bukan?
Keempat, menjaga nikmat dari hal-hal yang merusak. Sepertinya ini terkait dengan hal-hal yang merusak. Dari hal yang merusak nikmat itu sendiri, hingga yang merusak ketaatan kepada Allah.
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 09012022
Komentar
Posting Komentar