Syarat Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-9)
Ya, melaksanakan amar ma'ruf nahi Munkar memang terlihat "sedikit ribet" bahkan rumit dan berat. Karenanya tepatlah diksi yang dipakai adalah "min", "minkum" pada hadits populer tersebut, pun pada Ali Imron ayat 104.
Meski begitu, bukan berarti tidak mungkin dan tidak bisa dilakukan. Siapapun, gimana pun manusianya, sepertinya punya potensi untuk melakukan amar ma'ruf nahi Munkar. Asal terus belajar dan meningkatkan kapasitas serta kemampuan dirinya. Sebab sekali lagi amar ma'ruf nahi munkar memerlukan pendekatan (approach), metode, teknik, strategi tertentu, karena ini terkait ubah-mengubah, terkait perubahan.
Lebih jauh, Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin malah menekankan tentang pelaksanan amar ma'ruf nahi munkar yang mesti memenuhi empat unsur. Pertama, muhtasib (pengawas/pelaksana). Kedua, muhtasab ‘alaih (objek yang diawasi/diajak). Ketiga, muhtasab fih (masalah). Dan Keempat, ihtisab (bentuk pengawasan/penanganan).
Keempat unsur ini mesti saling berkaitan dan apabila berubah salah satunya, maka pola penangananya pun akan berbeda. Misalnya, saat melihat seorang anak kecil melakukan kemungkaran, tentu metode mengubahnya berbeda. Pendekatan yang digunakan kan pun berbeda. Termasuk tekniknya pun akan berbeda.
Saya jadi ingat tentang pendekatan (approach), teknik, dan metode dalam praktik ajar-mengajar dalam dunia pendidikan. Mengajar anak SD berbeda dengan anak TK. Ah, lagi-lagi saya jadi ingat apa yang dikatakan Kiayi Idris Djauhari dalam Mabadi Ilmu A-Tarbiyah: "arh-thoriqotu ahammu min al-maddah". Cara (pendekatan, metode, teknik) mengajar lebih penting daripada bahan atau materi ajar. Pun sepertinya dalam Amar ma'ruf nahi munkar ini.
Bahkan Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pun kembali menjelaskan bahwa orang yang akan melakukan amar ma'ruf nahi munkar (muhtasib), setidaknya harus menuju tiga syarat, yaitu.harus berilmu, wara’, dan berakhlak baik.
Imam Al-Ghazali mengatakan dalam Ihya Ulumiddin:
وَلْيَكُنْ عَالِمًا وَرَعًا وَحُسْنَ الْخُلُقِ يَتَلَطَّفُ فَلَا يَعْنُفُ، إِمَّا الْعِلْمُ فَلْيَعْلَمُ حُدُوْدَ الْاِحْتِسَابِ، وَالْوَرَعُ لِيَقْتَصِرَ عَلَى حَدِّ الْمَشْرُوْعِ فِيْهِ، وَيَحْسُنُ الْخُلُقَ بِتَلَطُّفٍ فَلَا يَعْنُفُ كَيْلَا يَتَجَاوَزَ حَدَّ الشَّرْعِ فَيَفْسُدَ أَكْثَرُ مِمَّا يَصْلُحُ
“Muhtasib harus berilmu, wara’, dan berakhlak baik, bersikap lembut dan tidak keras. Muhtasib harus berilmu supaya mengetahui ketentuan ihtisab (pengawasan/bentuk penanganan); muhtasib harus wara’ supaya bisa membatasi diri pada ketentuan yang disyariatkan; berakhlak mulia dengan lembut dan tidak keras supaya tidak melewati batasan syariat, sehingga menimbulkan mafsadat lebih banyak dibanding kemaslahatannya."
Berilmu, waro' (secara sederhana bisa diartikan meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan waro' dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya) dan berakhlak mulia.
Itu syarat dari Imam al-Ghazali untuk siapapun yang ingin amar ma'ruf nahi munkar. Termasuk menegaskan tentang kemungkaran yang tidak bisa dicegah dengan kemungkaran. Ya, Al-Ghazali pun tegas mengatakan tidak bisa mencegah kemungkaran dengan kemungkaran.
Tindakan anarkis, main hakim sendiri, pukul memukul, jotos menjotos, pentung-mementung, bahkan bunuh membunuh, dan kekerasan-kekerasan lain bisa dibilang kemungkaran. Dan ini tidak bisa digunakan dalam amar ma'ruf nahi munkar. Aliih-alih berubah menjadi baik, yang ada malah justru mendatangkan kemudaratan dan kemungkaran yang baru.
Apalagi dalam konteks bernegara di Indonesia ini. Meski berniat amar ma'ruf nahi Munkar, tapi aturan hukum dalam bernegara tidak bisa dilanggar dan diobrak-abrik. Agar tidak terjadi kemudharatan lain. Ini seperti kaidah, "al-dhararu ya yuzalu bidh-dhoror", kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan.
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 07012022
Komentar
Posting Komentar