Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron Ayat 104 (bag-1)
Orang-orang yang beruntung dalam Al-Qur'an disebut dengan menggunakan diksi yang di antaranya adalah "al-muflihuun". Diksi ini tertera dua belas (12) kali dan tersebar pada sebelas (11) surat. Yakni, di surat Al-araf ayat 8 dan 157, Al-mu'minun ayat 102, Al-Baqarah ayat 5, Ali Imron ayat 104, At-Taubah ayat 88, An-Nur ayat 51, Ar-Rum ayat 38, Luqman ayat 5, Al-Mujadalah ayat 22, Al-Hasyr ayat 9, dan at-Taghobun ayat 16.
Jika diklasifikasikan soal pembahasannya secara umum, maka diksi "al-muflihun" pada ayat-ayat tersebut kira-kira sebagai berikut: pertama, tentang berbuat baik dan timbangan amal baik seseorang. Ini terdapat pada Ar-Rum ayat 38, Al-A'raf ayat 8 dan Al-Muminun ayat 102. Kedua, tentang hidayah Allah untuk seseorang. Ini terdapat pada Al-Baqarah ayat 5 dan Luqman ayat 5. Ketiga, tentang ketaatan kepada Allah dan Rosul. Ini terdapat pada Al-A'raf ayat 157, An-Nur ayat 51, At-Taubah ayat 88, at-Taghobun ayat 16, dan Al-Mujadalah ayat 22. Keempat, tentang amar ma'ruf nahi Munkar pada Ali Imron ayat 104. Kelima,
Dari diksi "al-muflihun" yang tertera di semua ayat tersebut, jika ditelisik lebih jauh muaranya adalah sikap dan perilaku yang akhirnya menjadikan seseorang beruntung. Apa saja sikap dan perilaku yang tergambar dari diksi "al-muflihun"? Mari kita telusuri satu persatu.
Pertama, orang-orang yang beruntung adalah mereka yang (selalu) berbuat baik. Apa saja perbuatan baik yang bisa menjadikan seseorang beruntung?
Pada Ali Imron ayat 104 dinyatakan orang-orang yang beruntung adalah mereka (umat) yang memanggil kepada kebaikan (يدعون إلى الخير), menyeru dengan kebaikan (يأمرون بالمعروف), dan mencegah perbuatan Munkar (ينهون عن المنكر).
Untuk ayat ini ketertarikan saya justeru pada diksi-diksi kunci yang dipakai. Yaitu umat (أمة), memanggil kepada kebaikan (يدعون إلى الخير), menyeru dengan kebaikan (يأمرون بالمعروف), dan mencegah perbuatan Munkar (ينهون عن المنكر).
Kata kunci pertama adalah umat. Ini menghadirkan pertanyaan dalam diri saya; kenapa umat? Kenapa tidak langsung menunjuk pada individu atau perseorangan? Kenapa lebih kepada komunal atau kelompok? Kenapa tidak langsung menyebut umat Islam? Bukankah jika terkait kelompok atau umat, akan banyak sekali di dunia ini?
Pertanyaan-pertanyaan saya pun mulai terjawab setelah saya menelusuri ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Setidaknya dimulai dari ayat 102 sampai 110 di surat yang sama. Bahkan, hingga ayat ke 115.
Meski di ayat 110 ditegaskan bahwa umat Nabi Muhammad lah yang diperintah secara khusus untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar ini, tapi keisengan saya masih mengarah pada: kalau ajaran Islam diyakini berlaku untuk seluruh umat manusia, apakah kata umat pada ayat 104 pun berlaku untuk semuanya secara umum? Kalau, iya, berarti selain umat Islam pun mestinya melakukan hal yang sama (yang tertera pada ayat 104), yakni mesti sama-sama memanggil kepada kebaikan (يدعون إلى الخير), menyeru dengan kebaikan (يأمرون بالمعروف), dan mencegah perbuatan Munkar (ينهون عن المنكر). Kalau tidak, ini berarti khusus untuk umat Islam. Dan ini menjadi pembeda umat Islam dengan yang lain.
Diksi selanjutnya yang menarik perhatian saya adalah "يدعون إلى الخير". Kata "yad'uuna" ini memiliki akar kata "da'a-yad'uu" yang secara sederhana, di antara sekian banyak artinya, salah satu artinya adalah berdoa. Doa yang lengket dengan harapan seseorang. Pun lekat dengan arti sholat secara bahasa.
Jika "Yad'uuna" yang dimaksud adalah berdoa, maka, "yad'uuna ila al-khoiri" bisa diartikan dengan berdoa (pun mendoakan) hal-hal yang baik. Ini berarti, siapapun yang berdoa (mendoakan) hal tidak baik (bagi dirinya ataupun orang lain) bukanlah kriteria orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, siapapun yang berdoa (mendoakan) hal-hal baik adalah mereka yang beruntung. Saya jadi ingat ungkapan: setiap mendoakan orang lain, hakekatnya tengah mendoakan dirinya sendiri.
Selain itu, "yad'uuna ila al-khoiri", jika dilihat dari sudut pandang yang lain, bisa diartikan sebagai ucapan yang mengarahkan (seseorang) pada kebaikan. Pun mengarahkan pada keadaan yang lebih baik. Doa dan harapan biasanya terucap dan terkait ucapan, bukan?
Tidak hanya ucapan, sepertinya tindakan dan perilaku pun berlaku di sini. Seperti sholat sebagai tindakan dan pekerjaan (sesuatu yang dikerjakan). Ini mestinya akan mengarahkan seseorang pada perbuatan dan hal-hal baik (al-khoir). Bukankah salah satu tujuan sholat adalah mencegah perbuatan keji dan munkar?
Jadi, bisa dibilang, orang-orang yang beruntung adalah mereka yang ucapan serta tindakannya mengarah pada kebaikan (al-khoir) dan membuat mereka menjadi lebih baik.
Bisa dibilang, kebaikan, hal-hal baik, menjadi baik dan lebih baik (seharusnya) menjadi bentuk harapan serta menjadi doa (seseorang). Doa dan harapan itu pun mesti terkait dan berbentuk hal-hal yang baik pula. Doa-doa baik, harapan-harapan terbaik itu (mestinya) membuat seseorang menuju kepada kebaikan lewat ucapan dan tindakannya yang juga baik.
Nah, ketika seseorang berharap dan berdoa hal-hal yang baik, diiringi ucapan dan tindakan yang baik, hakekatnya ia sedang mengarahkan kebaikan dan hal-hal baik mendekat padanya. Pun mengarahkan dirinya lebih dekat dengan hal-hal yang baik pula.
Begitu pun dengan mewujudkan keberuntungan: mesti dimulai dari harapan dan doa yang baik, kemudian diiringi ucapan dan tindakan yang baik pula.
Allahu a'lam bisshowab
*Untuk amar ma'ruf nahi Munkar yang tertera pada Ali Imron ayat 104, akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya, insyaallah.
Sawangan Baru, 04012022
Komentar
Posting Komentar