Keberuntungan, Kekuatan, dan Kearifan Lokal. (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-3)
Amar ma'ruf, "Ya-muruuna bil-ma'ruf" bukan sekadar landasan pacu bagi mereka yang ingin berangkat dakwah. Pun bukan tongkat untuk memukul mereka yang salah, apalagi mementung mereka yang (baru) "dianggap" salah atas nama dakwah.
Ali Imron ayat 104 yang nempel (munasabah) dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pun tak melulu soal dakwah. Sebab turun surat ini pun terkait dengan interaksi sosial dan penyelesaian konflik antara beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj yang hampir saja mereka beradu pedang dan kekuatan karena selisih paham.
Saat berinteraksi dengan siapapun, beda pendapat seringkali tak bisa dihindarkan. Bahkan ke mereka yang dianggap dekat sekalipun seperti keluarga, saudara, teman, hingga sahabat. Beda-beda itu lazim. Sunnatullah. Dan udah "bawaan oroknya" seperti itu.
Perbedaan itu tak jarang melahirkan perdebatan bahkan perselisihan. Ini terjadi, biasanya karena pandangan dan pola pikir yang bentuknya seperti kanebo kering. Karena kaku, maka sikap yang ditunjukkan pun jadi tak elok bagi mereka yang melihat dan merasakannya. langsung.
Penelitian Richard J Wiseman, Profesor Psikologi di University of Hertfordshire, Inggris, pun membuktikan pola pikir tertutup dan sikap yang kaku, justeru semakin membuat seseorang jauh dari kata beruntung dan Keberuntungan. "Kalau lu mau beruntung dan jadi orang yang beruntung, buka pikiran dan luwesin sikap lu terhadap apapun dan ke siapapun," kira-kira begitu kata Wiseman.
Frasa Amar ma'ruf pada surat Ali Imran ayat 104 menyimpan sesuatu yang ajib. seperti anak kunci pada pintu pikiran yang tertutup. Pun bisa menjadi "tukang pijit" yang melemaskan otot-otot sikap yang kaku. Kalau pikiran sudah terbuka, sikap yang luwes, maka keberuntungan dan pangkat orang beruntung (al-muflihuun) pun semakin besar untuk didapat.
Sesuatu yang ajib itu antara lain: pertama, kata "amar" jika dilihat sebagai kata kerja, maka bisa diartikan dengan menyuruh atau memerintah. Apapun yang terkait suruh-menyuruh, biasanya dilakukan oleh mereka yang punya kekuatan (power) lebih dibanding orang-orang yang diperintah.
Kekuatan bukan sekadar kekuatan fisik atau jabatan, tapi bisa juga hal-hal lain seperti pengaruh, pengetahuan, pengalaman, kewibawaan, dan lain sebagainya. Secara tersirat, seakan-akan Allah lewat Al-Quran pada surat Ali Imron ayat 104 ini ingin bilang agar siapapun jadi orang yang kuat. Punya kekuatan dalam hal apapun yang tentu saja sesuai kadar masing-masing.
Hanya saja, kekuatan ini seringkali arogan. Sifatnya memang begitu, makanya perlu dikontrol. Karenanya kata "amar" langsung "dinikahkan" dengan kata "ma'ruf". Jangan ceraikan keduanya.
Kedua, kata "amar" jika dilihat sebagai kata bentuk pun bisa diartikan sebagai urusan atau suatu hal. Ah, saya jadi ingat teman yang "curhat" kalau ia lagi banyak urusan. Hal-hal yang mesti diselesaikan. Urusan-urusan yang perlu solusi dan jalan keluar.
Kalau "amar" dijadikan sebagai suatu (atau banyak) urusan, maka sepertinya jalan keluar dan solusinya pun adalah pasangannya, yaitu "ma'ruf". Lagi-lagi kata "ma'ruf". Apa dan bagaimana sih makhluk bernama "ma'ruf" ini hingga ia bisa jadi jalan keluar dan solusi dari segala urusan?
Sederhananya, pertama, "ma'ruf" bisa diartikan dengan segala sesuatu yang diketahui dan dikenal. Ini terkait pengetahuan. Terkait ilmu. Saya jadi ingat ungkapan yang bilang; perbedaan sulit atau gampang terletak pada penguasaan ilmunya. Hal yang membuat seseorang mudah atau susah dalam melakukan sesuatu terletak pada penguasaan ilmunya.
Siapapun yang punya "urusan" dan ingin solusi serta jalan keluar, kalau mengikuti saran pasangan "amar ma'ruf" ini maka carilah ilmunya. Ah, saya jadi ingat hadits yang bilang tentang memiliki ilmu bagi siapapun yang menginginkan dunia dan akhirat.
Kedua, kata "Ma'ruf" ini pun bisa jadi pegangan dalam interaksi sosial. Sebab, pengertian lain darinya adalah standar umum kebaikan yang dikenal dan disepakati oleh seseorang pun sekelompok orang alias masyarakat.
Setiap orang dan kelompok orang (masyarakat) bisa dipastikan memiliki nilai-nilai kebaikannya masing-masing. Di sini letak perbedaan antara "al-khoir" dan "al-ma'ruf" ini. Kalau "Khoir" adalah (nilai-nilai) kebaikan yang lebih bersifat umum. "Asal berdasar Quran dan Sunnah," ucap Prof Quraish Shihab. Sementara "Ma'ruf" adalah (nilai-nilai) kebaikan yang disepakati sebagai standar umum pada suatu masyarakat.
Standar umum kebaikan tersebut biasanya lekat dengan kebiasaan-kebiasaan baik yang dipraktikkan dalam suatu masyarakat. Untuk Indonesia, hal seperti ini akan banyak dan mudah ditemui pada tiap daerah. Inilaj yang dikenal dengan kearifan lokal. Kebaikan-kebaikan yang dipraktikkan pada suatu masyarakat. Ah, saya jadi ingat almarhum Gusdur yang menjadikan kearifan lokal ini sebagai salah satu nilai perjuangannya.
Kearifan lokal ini sepertinya nyangkut dengan "al-'adaat al-mu'tabaroh" yang bisa diartikan sebagai adat-adat atau kebiasaan-kebiasaan baik yang dipraktikkan dalam suatu masyarakat. Atas landasan ini pula, para ulama Ushul fikih mengatakan "'urf" menjadi salah satu sumber hukum Islam: bahwa adat yang baik bisa dijadikan pijakan hukum (al-'adaat al-muhakkamah).
Mengetahui kearifan lokal yang dimiliki seseorang atau suatu masyarakat inilah yang diperlukan agar seseorang mudah dalam berinteraksi. Saat interaksi terjaga, sangat besar kemungkinan terciptanya banyak peluang dan kesempatan baru.
Dan ini seperti penelitian Wiseman yang bilang; orang yang beruntung adalah mereka yang bisa menangkap dan mengoptimalkan peluang dan membuka pikiran terhadap kesempatan-kesempatan baru yang datang. Kesempatan-kesempatan dan peluang-peluang itu bisa jadi lahir dari interaksi, bukan?
Malah, lebih jauh, Nabi Muhammad pernah bilang diantara hal yang perlu ditanggapi dengan serius adalah kesehatan dan kesempatan. Sebab, kalau gak disikapi dengan baik dan bijak akan jadi penyesalan.
Ketiga, jika dikaitkan dengan kekuatan dalam sebuah perintah, maka "Ma'ruf" bisa menjadi kontrol sekaligus pijakan.
Kontrolnya terletak pada kesadaran bahwa kekuatan (power) yang diarahakan pada apapun dan ke siapapun, kudu dan wajib disertai dengan nilai-nilai kebaikan. Apakah itu kebaikan dalam "perintah" itu sendiri, atau kebaikan (nilai-nilai) yang ada pada orang-orang yang diperintah.
jika tidak melihat serta mempertimbangakan hal tersebut, yang terjadi adalah pergesekan bahkan tabrakan. Konflik dan perselisihan pun sepertinya tak akan terelakkan, seperti Suku Aus dan Khazraj yang hampir saja tawuran karena selisih paham yang jadi sebab turun Ali Imron ayat 101-103 hingga 110.
Nah, orang-orang yang beruntung sepertinya mereka yang punya kekuatan (power) dalam interaksi sosial. Kekuatan (power) tersebut mesti diiringi dengan ilmu dan pengetahuan akan nilai-nilai kebaikan, terutama yang "ma'ruf"
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 06012022
Komentar
Posting Komentar