Petani (al-fallaah), Adzan, dan Keberuntungan (al-falaah)
Disadari atau tidak, kata beruntung saban hari menabuh gendang telinga kita lewat adzan. Hayya 'ala al-falaah. Tak hanya muslim, semua orang bisa dipastikan bisa mendengarnya, lebih-lebih kalimat ini diperjelas dengan "speker" atau "toa" berkali-kali.
Kata Wahab Muslim dan T. Fuad Wahab dalam bukunya, Pokok-Pokok ilmu balagoh, suatu kata ajakan (seruan) yang diucapkan berulang kali (al-tikror) menunjukkan ajakan tersebut sangat penting. Malah, mengandung makna perintah. Meski katanya "mengajak" tapi ada unsur "perintah".
Termasuk kata "hayya" dalam adzan. Ini mengindikasikan bahwa ada perintah "halus" agar setiap orang menjadi orang-orang yang beruntung.
Lebih-lebih perintah "halus" ini ada dalam adzan yang intim banget dengan perintah sholat. Sholat yang menjadi salah satu rukun Islam. Rukun yang bisa dibilang sebagai pondasi yang membangun Islam. Lebih jauh: pondasi yang membangun bagaimana seorang muslim berislam. Kalau begitu, unsur yang membangun keislaman seseorang pun, di antaranya adalah menjadi orang-orang yang beruntung.
Abu Al-Husain Ahmad ibn Fariz bin Zakariya dalam kitabnya Mu'jam Maqaayis al-Lugoh, menjelaskan Kata beruntung dalam Al-Qur'an dinyatakan dengan al-falaahu. Akar katanya, terdiri dari huruf fa-lam-ha, yang berarti membelah, membajak lapis tanah. Karenanya, kata beruntung dalam bahasa Arab ini pun nempel banget dengan petani. Bedanya, hanya pada tsyadid di huruf lam-nya.
Meskipun sangat nempel dengan kata "petani", bukan berarti keberuntungan hanya milik petani. Tapi, semua orang (siapapun dan apapun profesinya) bisa menjadi orang-orang yang beruntung. Seperti Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Quran Al-Karim yang menerangkan bahwa kata Al-falah berarti memperoleh apa yang dikehendaki atau meraih keberuntungan. Yakni meraih apa yang diharapkan dan diinginkan di dunia dan akhirat.
Ada filosofi dibalik "pacarannya" kata beruntung dengan petani ini. Quraish Shihab melanjutkan keterangannya lewat Tafsir Al-Misbah, bahwa hubungan "spesial" ini terletak pada prosesnya. Ya, prosesnya.
Petani perlu mencangkul dan membelah tanah. Lalu menanam benih. Dijaga berhari-hari. Diberi pupuk. Menjewer hama agar menyingkir. Dan seterusnya hingga musim panen tiba. Begitupun dengan keberuntungan. Ada proses yang perlu dilakukan dan dilalui untuk memperolehnya.
Tentu saja bentuk keberuntungan tidak hanya materil. Ada keberuntungan immateril. Ini seperti yang dikatakan Dudung Abdullah dalam disertasinya yang berjudul Wawasan Al-Quran tentang Al-Falah (Suatu kajian Tafsir Maudhu'i).
Bentuk materil bisa berupa kekayaan. Tapi, sepertinya keberuntungan yang berbentuk immateril akan lebih banyak. Misalnya, kebersihan jiwa, ketenangan berpikir, kelapangan dada, kejernihan pandangan, dan lain-lain. Nah, orang-orang yang memiliki bentuk immateril itu bisa dibilang orang yang beruntung. Tapi, lagi-lagi perlu diingat, agar pikiran jernih, sikap terbuka, kelapangan dada, kebersihan jiwa, dan sebaganya itu perlu proses. Perlu usaha dan upaya agar membuat diri seperti itu.
Orang-orang yang memiliki hal-hal positif seperti itu, tidak hanya disebut orang beruntung saja, tapi ia pun bisa disebut orang yang sukses.
Sebab dalam buku Success is Life Style karya Prasetyo dinyatakan bahwa kata Success adalah "succeed to accomplish something desired or intended," alias mencapai sesuatu yang diinginkan. Mirip dengan pengertian kata beruntung, bukan?
Jadi, setiap orang bisa menjadi orang yang beruntung. Ada yang beruntung karena punya bentuk keberuntungan berupa materil, ada yang memilikinya dalam bentuk immateril. Semua keberuntungan itu bisa diperoleh oleh siapapun asal ada upaya dan usaha untuk meraihnya.
Sebab, seperti para petani yang asik bermesraan dengan cangkul, benih, tanah, beburung, hama, dan hal-hal lain hingga musim panen tiba. Ada proses, upaya, dan usaha di sana.
Allahu a'lam bisshowab
Komentar
Posting Komentar