Keberuntungan (Al-Falaah) antara Kausalitas dan Law of Attraction

Kemarin malam seorang laki-laki gondrong tiba-tiba cerita tentang sedikit hidupnya. Kami bertemu beberapa tahun lalu. Sampai sekarang, badannya selalu kurus. Meski begitu, pengetahuannya tentang filsafat barat hingga timur sangat ciamik. "Gue termasuk keluarga broken. Sebab ibu gue meninggal waktu gue kelas lima SD. Dan selanjutnya gue mesti hidup dengan ibu tiri," tuturnya. 

Sambil menghisap rokok, ia cerita bahwa pernah mengalami peristiwa yang di luar logika. Saat itu, Minggu malam ia tidur di rumah bibinya. Antara sadar dan tidak, dia bermimpi membangunkan ibunya. Tapi perempuan itu tak kunjung melek. Ia pun bangun, dan ada sesak di dada, tapi nafasnya biasanya saja. Pun dengan air di matanya. Bukan karena sesak, bukan karena sakit, ia menangis begitu saja. Seperti ingin menangis saja tanpa perlu alasan.

Paginya, ia berangkat ke sekolah masih dengan air mata. Meski tak sederas malamnya, tetap saja teman-teman sekolah bisa melihat dan mengejek kalau ia cengeng, padahal tidak. Tiba-tiba salah satu teman menengurnya "lu kok, masih sekolah? Ibu lu kan meninggal." 

Ia diam saja. Tapi air matanya semakin deras. "Jangan-jangan karena gue, ibu jadi meninggal. Karena gue gak bisa bangunin ibu semalem," pikirnya. Ia tetap mengikuti upacara bendera sampai selesai. Hingga salah satu guru menghampiri dan mengajaknya untuk pulang. Sampai di rumah, ia melihat ibunya sedang dimandikan. "Bu, bangun Bu," ucapnya beberapa kali. Sesak dan rasa gak nyaman di dirinya hilang, berganti pedih karena kehilangan orang yang disayang.

Saya hanya bisa diam mendengarkan. Saya belum komentar apapun, dia cerita hal lain. Yaitu tentang pengalamannya saat mengendarai sepeda motor. kejadian ini tak hanya sekali, Berkali-kali saat mengendarai sepeda motor lalu di depannya ada truk atau kendaraan besar lain yang ingin ia dahului karena melihat dari arah berlawanan lengang. Di saat ingin menyalip itu, tiba-tiba "feeling-nya" bilang jangan. Ia pun tak jadi mendahului truk di depannya. Dan benar saja, dari arah berlawanan ada kendaraan dengan kecepatan tinggi. Tak akan bisa ia menyalip truk di depan. Kalaupun memaksakan, mungkin ia akan sampai di rumah sakit atau kuburan.

Tanpa saya minta, ia pun bilang bahwa kejadian pertama adalah intuisi, yang kedua bukan. Kenapa? Kisah pertama, "gak bisa dilogikakan," tuturnya. Sementara yang kedua, "seperti hukum kausalitas, hukum sebab akibat. Ada pengalaman, pengetahuan yang membentuk "feeling" tersebut. 

Saya manut. Kisah pertamanya bisa dibilang intuisi yang seringkali keluar dari koridor logika. Bahasa Imam Al-Ghazali adalah dzauq. Saya sering mendengar cerita yang sepertinya masuk ke ranah intuisi ini pada sosok Gusdur. Bagaimana tiba-tiba dalam perjalanan ia berhenti lalu memberi sejumlah uang yang tak sedikit kepada seseorang yang tidak dikenal dan ternyata orang tersebut sedang sangat butuh uang tersebut. 

Pun saya pernah mengalami di malam saat ayah saya esoknya meninggal. Malam itu, saat teleponan, saya merasakan ada sesuatu yang janggal (tak nyaman) di dalam diri saat mendengar suami umi di telepon. Berkali-kali Umi bilang bahwa semuanya sehat-sehat dan baik-baik saja. Dan tiba-tiba ayah saya pengin ngomong sesuatu, padahal ia jarang banget bicara saat saya di pesantren. Ayah saya hanya bilang: "Aa mau terus belajar, ayah udah seneng banget." Dan ternyata itu kalimat terakhir yang saya dengar dari ayah. Besoknya ayah saya meninggal dunia setelah jatuh dari pohon mangga di depan rumah.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa dzauq (intuisi) ini yang bisa menangkap lintasan ide atau pengetahuan (Khowathir) yang mendatangi manusia setiap saat. Jika dilatih, ujungnya adalah Ilham. Dan tak jarang, hal yang intuitif seperti ini akan ditolak oleh akal dan logika. Tapi itu bagian dari pengetahuan dan bisa dibilang salah satu sumber kebenaran. 

Sementara, kisah keduanya tentang "feeling" itu adalah kerja logika. Sebab, itu terbentuk dari pengalaman dan pengetahuan yang sudah menjadi bahan dan nempel di akal. Misalnya, mendahului kendaraan jangan saat jalan berkelok sebab kendaraan dari arah berlawanan sulit dilihat, kehati-hatian saat mendahului kendaraan lain, dan pengetahuan-pengetahuan lain yang membentuk "feeling" tersebut. Contoh lainnya, adalah saat "feeling" mengatakan bahwa seseorang menyukai kita. Itu bukan intuisi. Itu kerja logika. Sebab ada kerja akal yang menangkap gerak-gerik, sikap, perilaku dari orang tersebut yang "biasanya" menunjukkan kesukaan dan ketertarikan pada kita.

Teman saya sepakat, lalu bilang filsafat itu kerja akal dan pemikiran, "makanya filsafat barat seringkali menolak intuisi ini sebagai sumber pengetahuan. Beda dengan Filsafat timur dan Islam yang menyatakan bahwa selain hal-hal empirik dan logis, ada sumber pengetahuan lain yaitu intuitif," ujarnya masih sambil menghisap kretek. "Karenanya hasil darinya berbentuk wisdom atau kebajikan. Lihat saja Mahatma Gandhi, Thao, dan lain-lain," lanjutnya. 

Saya masih terus mendengarkan, tentu saja sambil merokok. "Dan tau gak lu, kenapa gue cerita ini?" Tanyanya yang tanpa menunggu jawaban saya langsung bilang: "karena gue baca tulisan lu soal keberuntungan."

Ia menyepakati bahwa intuisi itu bisa mengarahkan seseorang pada keberuntungan. Sayangnya kami tak sepakat soal satu hal. Baginya, hukum kausalitas berlaku untuk keberuntungan. "Bagi gue, keberuntungan itu karena ada sebab dan akibat. Kalau lu misalnya selalu berpandangan positif, ya akibatnya hal-hal yang lu terima pun positif," ujarnya.

Nah, saya berbeda pandangan dengannya. Bagi saya, keberuntungan lebih condong pada hukum tarik menarik, law of attraction. Sikap-sikap yang digambarkan pada Al-Mu'minun ayat 1-10 itu semacam magnet. Jika seseorang memiliki sikap-sikap atau salah satu sikap tersebut, itulah yang akan menarik keberuntungan semakin dekat padanya. 

Seperti law of attraction, yang sederhananya kira-kira seperti ini: ketika seseorang menginginkan sesuatu, keinginan itu terucap (lahir dan batin) olehnya. Keinginan itu, diiringi sikap-sikap "magnet" tadi. Tanpa perlu fokus dan bekerja kerasa untuk mewujudkan, apa yang diinginkannya akan terwujud. Soal waktunya, lambat atau cepat, biarkan semesta yang menjawab. 

Saya pun cerita padanya tentang keinginan saya menjadi pengusaha dan penulis. Keinginan ini telah terucap lalu tertanam sejak saya masih nyantri. Tepatnya sejak kelas empat di TMI Al-Amien Prenduan. Itu tertanam, karena saat itu Kiayi Idris mengatakan agar saya tidak usah ada niat jadi PNS lalu meminta seluruh santri agar membiasakan membaca dan menuliskan apapun. 

Sejak saat itu, kehidupan saya seakan selalu "diarahkan" pada dua hal ini (pengusaha dan penulis). Misalnya, Waktu kuliah sambil ngajar di sekolah, saya membuat buletin dengan modal sendiri. Buletin itu saya jual ke murid-murid. Hasilnya, sebagian untuk uang kas, sebagian masuk ke kantong pribadi. Selain itu, saya pun bisa melatih kemampuan menulis. Selain itu, saya pun mendirikan sanggar sastra. Dan Alhamdulillahnya, beberapa karya murid binaan pernah masuk ke majalah Horison. 

Tahun 2008 tiba-tiba saya mendapat peluang memulai usaha jual beli kelapa tanpa modal. Saat itu ada yang butuh kelapa tua, dan saya bisa mengadakan. Pun saat saya diberi kesempatan untuk berkegiatan di Wahid Institute yang sekarang berubah nama menjadi Wahid Foundation. Lagi-lagi saya mesti berkutat dengan tulisan karena mesti membantu mengelola "Kabar Kampung". Kemudian terlibat lagi di komunitas Surah Sastra. Dan masih banyak lagi yang semuanya tak jauh dari dunia tulis dan usaha. 

Nah, itu semua adalah keberuntungan. Dan sekali lagi, sepertinya hukum tarik menarik lebih berlaku di situ: saat punya keinginan, tanamkan dalam diri, lalu biarkan semesta bekerja untuk mewujudkannya. Yang terpenting adalah terus menanamkan sikap-sikap yang bisa menjadi magnet untuk keinginan tersebut. 

Allahu a'lam bisshowab

Sawangan Baru, 30122021




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara "ro-a", "nazhoro", dan "bashoro" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-5)

Syukur (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ar-Rum ayat 38. bag-2)

"Adh'aful Iman" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-8)