Bisikan Keberuntungan (Al-falah) pada Diri Sendiri.

Di antara yang bikin gereget adalah ngobrol dengan orang lain dan ada sesuatu yang bisa saya tulis. Sebab, seringkali cerita mereka bikin saya makin melek tentang "nakal" dan "iseng" yang belum maksimal: Nakal berantem dengan kebodohan, iseng mencari jawaban dari setiap pertanyaan. 

Seperti semalam, saat menjelang pergantian tahun, saya ikut nimbrung pada obrolan beberapa teman yang sama-sama hadir pada acara peringatan maulid nabi di Pesantren Ittihadussyubbaan, Sawangan Baru, Depok. Di situ saya mendapat gereget yang baru. 

Saat ramah tamah, satu jam lewat tujuh belas menit setelah pergantian tahun, kami berlima duduk di salah satu sudut majelis. Tentu saja sambil merokok dan ada beberapa gelas kopi. Salah seorang teman bilang soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan acara macam maulid Nabi begini. "Ini bisa habis puluhan juta," ujarnya mengira-ngira. 

"Alhamdulillahnya, banyak jamaah yang ikut andil," timpal teman yang lain lalu menyebut nama seseorang yang menyumbang hingga jutaan rupiah. Ia tahu hal tersebut dari group WhatsApp majelis tersebut. "Orang itu beruntung karena punya banyak uang yang akhirnya bisa berbagi," lanjutnya yang langsung ditimpali oleh teman yang lain lagi yang bilang: "justeru dia beruntung karena bisa berbaginya, bukan karena banyak uangnya."

Ditimpali lagi oleh yang lain: "yang lebih beruntung, adalah si Fulan. Saya tahu pasti keadaan ekonominya. Ia pas-pasan. Malah bisa dibilang kekurangan. Tapi masih bisa ikut nyumbang." Semuanya sepakat bahwa mereka yang menyumbang dan ikut sedekah, sedikit atau banyak, sama-sama beruntung. 

Saya pun iseng bertanya kepada mereka: "jadi sebenarnya, yang bisa sedekah dan berbagilah yang beruntung? Atau sedekahnya yang bikin beruntung? Atau mereka beruntung karena bisa berbagi? Atau mereka berbagi karena beruntung?" Lantaran sedikit bermain kata-kata, salah satu teman langsung bilang: "intinya semua beruntung. Mereka yang berbagi adalah orang-orang beruntung."

"Tapi bukan hanya yang berbagi duit. Mereka yang berbagi tenaga, waktu dan sumbangsih pemikiran lewat saran pun, kayaknya bisa dibilang orang yang beruntung juga," timpal yang lain. 

...

Saya jadi teringat soal Al-Mu'minun ayat satu sampai sepuluh yang menerangkan tentang orang-orang yang beruntung dan akan mendapat keberuntungan. Di antaranya adalah orang-orang yang berinfak. Pun tentang kisah-kisah soal keajaiban dan keistimewaan orang-orang yang gemar berbagi. 

Nah, keisengan saya hadir setelah teman saya bilang keberuntungan itu akibat dari berbagi. Terjadi hukum sebab akibat (kausalitas) pada keberuntungan dan berbagi. "Berbagi menjadi sebab, keberuntungan menjadi akibat," terang teman yang langsung saya tanya: "kalau dibalik gimana; Keberuntungan menjadi sebab, berbagi menjadi akibat?"

Ia pun bilang, umumnya yang menjadi sebab adalah suatu pekerjaan (kata kerja) dan akibat adalah kata sifat. Saya langsung tanya lagi: "bisa gak kata sifat diubah jadi kata kerja? Misalnya beruntung dan berbagi tadi. Keberuntungan diubah jadi memberuntunkan diri atau membuat diri beruntung. Nah lewat memberuntungkan diri tersebut akhirnya yang menjadikan seseorang berbagi."

"Ini hanya pertanyaan iseng, gak usah serius-serius amat," ucap saya karena melihat muka teman-teman di depan saya mulai seperti para filosof. Dan obrolan mulai merangkak ke pembahasan lain. 

...

Saya pun mengamini terjadi hukum kausalitas pada berbagi dan keberuntungan. Tapi, ada hal lain dalam diri saya yang bilang, bahwa ini tidak sekadar hukum sebab akibat. Tapi ada hukum lain yang berlaku, yaitu hukum tarik menarik (law of attraction). 

Pasalnya, kalau hukum kausalitas yang berlaku, maka kata yang tepat dan lebih dekat dengan keberuntungan jenis ini adalah "al-jaza". Kata yang sepadan dengan "al-falah" yang artinya bisa dibilang keberuntungan juga. "Al-jazaa" ini berlaku ketika seseorang mendapat balasan (upah) dari apa yang dilakukannya. Nah ada sebab dan akibat di sini. Sementara Al-falah lebih dari sekadar itu. 

Al-falah bisa dibilang makhluk juga sama seperti manusia. Ia bisa berdiri sendiri. Nah, keberuntungan ini akan mendekat dan melekat ketika seseorang tidak hanya melakukan sesuatu (pekerjaan), tapi juga berpikir, bersikap, hingga "berprasangka". 

Saya jadi ingat hadits yang bilang bahwa Allah seperti (atau sesuai) dengan prasangka hamba-Nya. Saat seseorang berprasangka (mengatakan) pada dirinya sendiri bahwa ia beruntung, misalnya. Lalu dengan cara-Nya sendiri, yang akan mengarahkan seseorang tersebut beruntung. Apakah keberuntungan yang akan selalu mendekat atau orang tersebut yang selalu dekat pada keberuntungan. Karenanya saya lebih condong menyebut hukum tarik menarik lah yang berlaku pada keberuntungan seseorang. Ini dimulai dari prasangka (pikiran) seseorang atas dirinya sendiri. Kemudian ada "tangan ajaib" yang mengarahkan semesta untuk berlaku seperti yang disangkakan (dan dipikirkan) orang tersebut. 

Dan ini pun sepertinya berlaku untuk segala hal yang ada (dan belum ada) pada hidup seseorang. Misalnya ketika seseorang mendapat masalah; masalah ekonomi lah, masalah keluarga lah, dan lain sebagainya yang dianggap masalah, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah bilang pada diri sendiri tentang hal yang positif. Misalnya: "saya adalah orang yang beruntung. Apapun yang terjadi, ini bukan permasalahan. Ini adalah pembelajarannya. Kalaupun terlanjur jadi permasalahan, saya yakin saya bisa melalui dan menyelesaikannya. Saya yakin akan selalu ada jalan keluar." 

Setelah mengatakan hal positif tersebut pada diri sendiri, diiringi keyakinan dan harapan pada Tuhan, lalu bersikap tenang, sepertinya apapun gak jadi persoalan. Ini seperti sikap khusyuk dalam sholat yang berarti tenang dan menyandarkan harapan pada Tuhan, bukan?

Endilalah, saya jadi ingat Gusdur, Allahu yarham, yang bilang: persoalan atau permasalahan itu cuma ada dua. Pertama, persoalan dan permasalahan yang bisa diselesaikan karena pasti ada jalan keluar dan solusinya. Ini berarti bukan masalah. Sebab bisa diselesaikan. Kedua, persoalan dan permasalahan yang tidak bisa diselesaikan. Nah, karena gak bisa diselesaikan, berarti gak perlu dipikirkan. Ngapain mikirin sesuatu yang gak bisa diselesaikan? Jika begitu, hak kedua pun bukan masalah.

Dengan kata lain, yang membuat sesuatu jadi masalah justeru sikap seseorang saat melihat suatu hal tersebut. Sikap yang tentu saja sering dilandasi oleh pola pikirnya (prasangkanya) sendiri. Dan prasangkanya itulah yang membuat semesta di sekitarnya menjadi demikian. Tentu saja atas seizin Tuhan.

Pun terhadap masa depan. Termasuk hari-hari ke depan di tahun 2022 yang baru beberapa jam ditapaki. Prasangka (pikiran) baik seperti menjadi orang beruntung, sepertinya layak untuk dibisikkan ke diri sendiri. 

Allahu a'lam bisshowab

Sawangan Baru, 01012022







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara "ro-a", "nazhoro", dan "bashoro" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-5)

Syukur (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ar-Rum ayat 38. bag-2)

"Adh'aful Iman" dalam Nahi Munkar (Kriteria Orang-Orang Beruntung pada Surat Ali Imron ayat 104. bag-8)